Pemikiran Ekonomi Islam
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pemikiran Ekonomi Islam periode
Klasik
- Abu Yusuf (798 M)
a. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Ya'qub bin Ibrahim bin Habib bin
Kunais bin Sa'ad al Anshari al Jalbi al Kufi al Bagdadi, atau yang lebih dikena
sebagai Abu Yusuf. Dia lahir di Kuffah pada tanggal 113 H (731 M) dan meninggal
dunia di Bagdad pada tahun 182 H (798 M). Dari nasab ibunya ia masih mempunyai
hubungan darah dengan salah seorang sahabat Rasulullah SAW., Saad Al Ansari.
Keluarganya bukan berasal dari lingkungan berada, tetapi sejak kecil ia
mempunyai minat yang sangat kuat terhadap ilmu pengetahuan, hal ini dipengaruhi
oleh suasana Kuffah yang ketika itu merupakan salah satu pusat peradaban Islam.
Tempat para cendekiawan muslim dari seluruh penjuru dunia Islam datang silih
berganti untuk saling bertukar pikiran berbagai bidang keilmuan.
Abu Yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak ulama
besar seperti Abu Muhammad Atta bin As-Sa'id al Kufi, Sulaiman bin Mahran al
A'masy, Hisyam bin Urwah, dll. Selain itu ia juga menuntut ilmu kepada pendiri
madzab Hanafi yaitu Abu Hanifah. Sepeninggal gurunya, Abu Yusuf bersama Al
Hasan asy-Syaibani menjadi tokoh pelopor dalam menyebarkan dan mengembangkan
madzab Hanafi.[1]
b. Pemikiran Ekonomi
Dalam pemikirannya, Abu Yusuf lebih
ditekankan pada tanggung jawab penguasa. Ia lebih cenderung negara menyetujui
jika negara mengambil bagian dari hasil pertanian, dari pada menarik sewa dari
lahan pertanian serta menekankan pentingnya pengawasan
yang ketat terhadap para pemungut pajak untuk menghindari korupsi dan tindak
penindasan. Abu Yusuf menganggap bahwa penghapusan penindasan dan jaminan
kesejahteraan rakyat sebagai tugas utama penguasa.
Dalam pandangan Abu Yusuf tugas utama penguasa
adalah mewujudkan dan menjamin kesejahteraan rakyatnya. Ia selalu menekan
pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat dan mengembangkan berbagai proyek yang
berorientasi pada kesejahteraan umum. Dengan mengutip pernyataan Umar ibn Al
Khaththab ia mengungkapkan bahwa sebaik-baik penguasa adalah mereka yang
memerintah demi kemakmuran rakyatnya, dan seburuk-buruk penguasa adalah mereka
yang memerintah tapi rakyatnya malah menemui kesulitan.
1)
Kebijakan
Fiskal
Abu yusuf merupakan ahli fiqh pertama yang mencurahkan perhatiannya pada
permasalahan ekonomi. Pemikiran utamanya terletak pada tanggung jawab ekononomi
penguasa terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat, pentingnya keadilan,
pemerataan dalam pajak serta kewajiban penguasa untuk menghargai uang publik
sebagai amanah yang harus digunakan sebaik-baiknya. Subjek utama Abu Yusuf
adalah perpajakan dan tanggung jawab ekonomi dari negara.
Beliau menginginkan terhapusnya penindasan, tegaknya keadilan, dan
terwujudnya kesejahteraan rakyat. Abu Yusuf mencoba menyampaikan dan mendesak
para penguasa sebagai tanggung jawab negara berkaitan dengan status Baitul
Maal, prinsip-prinsip perpajakan dan hubungan pertanian kondusif untuk kemajuan
sosial. Kontribusi lain adalah dengan menunjukkan keunggulan sistem pajak
proposional (muqasamah) menggantikan
sisitem pajak tetap (misahah).[2]
2)
Kuangan
Publik
a)
Ghanimah
Ghanimah adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta
orang kafir melalui peperangan.Dikatakan Abu Yusuf bahwa ghanimah merupakan
sumber pemasukan Negara. Pemasukan dari ghanimah tetap ada dan menjadi bagian
yang penting dalam keuangan publik. Akan tetapi, karena sifatnya yang tidak
rutin, maka pos ini dapat digolongkan sebagai pemasukan yang tidak tetap bagi
Negara.
b)
Zakat
Sesuai dengan ekonomi negara pada masa Islam yang
bertumpu pada hasil pertanian, para cendekiawan muslim banyak menekankan pada
cara memanfaatkan tanah gersang yang tidak ditanami. Dalam hal ini Abu Yusuf
mengatakan bahwa semua jenis tanah mati dan tak bertuan harus diberikan pada
seorang yang dapat mengembangkan dan menanaminya serta membayar pajak pada
tanah yang diterapkan tersebut. Tindakan seperti ini membuat negara berkembang
dan pajak pendapatan akan meningkat.
Diantara objek pajak yang menjadi perhatiannya adalah
zakat pertanian. Jumlah pembayaran zakat pertanian adalah sebesar usyr yaitu
10% dan 5%, tergantung dari jenis tanah dan irigasi. Yang termasuk kategori
tanah ‘usryiyah menurut Abu Yusuf adalah :
1.
Lahan
yang termasuk jazirah arab, meliputi hijaz, makkah, madinah dan yaman.
2.
Tanah
tandus / mati yang dihidupkan kembali oleh orang islam.
3.
Setiap
tanah taklukan yang dibagikan kepada tentara yang ikut berperang, seperti kasus
tanah khaibar.
4.
Tanah
yang diberikan kepada orang islam, seperti tanah yang dibagikan melalui
institusi iqta kepada orang-orang yang berjasa bagi Negara.
5.
Tanah
yang dimiliki oleh orang islam dari Negara, seperti tanah sebelumnya dimiliki
oleh raja-raja Persia dan keluarganya, atau tanah yang ditinggalkan oleh musuh
yang terbunuh atau melahirkan diri dari peperagan.
c)
Faiy’
Faiy’ adalah segala sesuatu yang
dikuasai kaum muslimin dari harta orang kafir tanpa peperangan, temasuk harta
yang mengikutinya, yaitu kharaj tanah
tersebut, jizyah perorangan dan usyr dari perdagangan.
Semua harta faiy’ dan harta- harta yang mengikutinya berupa kharaj, jizyah dan usyr merupaka harta yang boleh dimanfaatkan oleh kaum muslimin dan disimpan dalam Bait Al-Mal, semuanya termasuk kategori pajak dan merupakan sumber pendapatan tetap bagi Negara, harta tersebut dapat dibelanjakan untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan Umat.
Semua harta faiy’ dan harta- harta yang mengikutinya berupa kharaj, jizyah dan usyr merupaka harta yang boleh dimanfaatkan oleh kaum muslimin dan disimpan dalam Bait Al-Mal, semuanya termasuk kategori pajak dan merupakan sumber pendapatan tetap bagi Negara, harta tersebut dapat dibelanjakan untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan Umat.
d)
Jizyah
Jizyah adalah pajak yang harus dibayar oleh penduduk
non muslim yang tinggal dan dilindungi dalam sebuah Negara Islam. Rasulullah
menetapkan jizyah melalui sahabatnya
Muad Bin Jahal ketika diutus ke yaman, sebanyak 1 dinar setiap orang yang sudah
baligh.
e)
‘Usyr
Usyr adalah bea impor yang
dikenakan pada semua pedagang yang melintasi perbatasan negara wajib membayar
hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya lebih
darii 200 dirham. Tingkat bea kepada muslim
5%dan kepada non muslim 2,5%.[3]
Adapun, usyr merupakan hak kaum muslim yang diambil
dari harta perdagangan ahl jimmah dan
penduduk kaum harbi yang melewati perbatasan Negara islam. Usyr dibayar dengan
cash atau barang. Abu yusuf, melaporkan bahwa Abu Musa al- As’ari, salah
seorang gurbernur, pernah menulis kepada khalifah umar bahwa para pedagang
muslim dikenakan bea dengan tarif sepersepuluh di tanah – tanah harbi. Khalifah
umar menasehatinya untuk melakuka tiga hal yang sama dengan menarik bea dari
mereka seperti yang mereka lakukan kepada pedagang muslim.
Tarif usyr ditetapkan sesuai dengan status pedagang.
Jika ia muslim maka ia akan dikenakan zakat pedagang sebesar 2,5% dari total
barang yang dibawanya. Sedangkan ahl jimah dikenakan tarif 5%, dan kafir harbi,
dikenakan tarif 10%. Selain itu, kafir harbi dikenakan bea sebanyak kedatangan
mereka ke Negara islam dengan barang yang sama tetapi, bagi pedagang muslim dan
pedagang ahl jimmah bea hanya dikenakan sekali dalam setahun.
Dalam pengumpulan bea, Abu Yusuf mensyaratkan dua hal
yang harus dipertimbangkan. Pertama, barang-barang tersebut haruslah
barang-barang yang dimaksudkan untuk diperdagangkan.Kedua, nilai barang yang
dibawa tidak kurang dari 200 dirham.
f)
Kharaj
Kharaj adalah pajak tanah yang
dikuasai oleh kaum Muslim, baik karena peperangan maupun karena pemiliknya
mengadakan perjanjian damai dengan pasukan muslim. Mereka tetap menjadi pemilik
sah dari tanah-tanahnya tetapi dengan membayar pajak (kharaj) sejumlah tertentu kepada Baitul Maal.
Dalam hal penetapan pajak Abu Yusuf cenderung
menyetujui mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarap daripada
menarik sewa dari lahan pertanian. Menurutnya, sistem perpajakan terbaik untuk
menghasilkan pemasukan lebih banyak bagi keuangan negara dan yang paling tepat
untuk menghindari kedzaliman bagi para pembayar pajak oleh para pengumpul pajak
adalah pajak pertanian secara proporsional. Sisem ini akan menghalau kedzaliman
terhadap para pembayar pajak dan menguntungkan keuangan negara.[4]
3)
Mekanisme
Pasar
Menurut Abu yusuf, sistem ekonomi islam mengikuti prinsip mekanisme pasar
dengan memberikan kebebasan yang optimal bagi para pelaku di dalamnya, yaitu produsen
dan konsumen. Jika karena sesuatu hal selain monopoli, penimbunan, atau aksi
sepihak yang tidak wajar dari produsen terjadi kenaikan harga, maka pemerintah
tidak dapat melakukan intervensi dengan mematok harga. Penentuan harga
sepenuhnya diperankan oleh kekuatan permintaan dan penawaran dalam ekonomi.
Dalam hal ini, pengendalian harga menjadi point kontroversial dari pemikiran Abu
Yusuf. Ia menentang
penguasa yang menetapkan harga, argumennya didasarkan pada hadits Rasulullah
SAW., "Pada masa rasulullah SAW., harga-harga melambung tinggi, para
sahabat mengadu kepad Rasulullah dan memintanya agar melakukan penetapan harga.
Rasulullah SAW., bersabda 'tinggi rendahnya harga barang merupakan bagian dari
ketentuan Allah, kita tidak bisa mencampuri urusan dan ketetapan-Nya'.[5]
2.
Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (804 M)
a.
Riwayat
Hidup.
Abu Abdilah Muhammad bin al-Hasan bin
Farqad al-Syaibani lahir pada tahun 132 H (750 M) di kota Wasit, Ibu Kota Irak
pada masa akhir pemerintah Bani Umawiyyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaibani
diwilayah Jazirah Arab. Bersama dengan orang tuanya, al-Syaibani pindah ke kota
Kufah yang ketika itu merupakan salah satu pusat kegiatan ilmiah.
Dalam menuntut ilmu, al-Syaibani tidak
hanya berinteraksi dengan para Ulama Ahl al-Ra’yi, tetapi juga Ulama
Ahl al-Hadist. Ia layaknya ulama terdahulu yang berkelana ke berbagai
tempat seperti Madinah, Makkah, Syiria, Basrah dan Khurasan untuk belajar
kepada Ulama Besar. Setelah memperoleh ilmu yang memadai, al-Syaibani
kembali ke Baghdad. Ia mempunyai peranan penting dalam Majelis Ulama dan
kerap didatangi para penunut ilmu. Hal itu semakin memudahkannya dalam
mengembangkan Madzab Hanafi. Berkat keluasan ilmunya, setelah Abu Yusuf
meninggal dunia, ia diangkat sebagai hakim di kota Riqqah, Irak. Namun hal itu
hanya berlangsung singkat, karena ia mengundurkan diri untuk lebih
berkonsentrasi pada pengajaran fiqh.
Al-syaibani meninggal dunia pada tahun 189 H (804 M) di kota al-Ray,
dekat Teheran, dalam usia 58 tahun.
b.
Pemikiran
Ekonomi
Dalam
mengungkap pemikiran ekonomi al-Syaibani, para ekonom muslim banyak merujuk
pada kital al-kasb yang berisikan tentang kajian mikro ekonomi yang
berkisar pada teori kasb (pendapatan) dan sumber-sumbernya. Kitab ini merupakan
kitab pertama di dunia islam yang yang membahas permasalahan ini.
1) Al-Kasb (kerja)
Al-Syaibani
mendefinisikan al-Kasb (kerja) sebagai mencari perolehan harta melalui berbagai
cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi, aktivitas demikian temasuk dalam aktivitas
produksi. Dalam ekonomi islam, tidak semua aktivitas yang menghasilkan suatu
barang atau jasa disebut aktivitas produksi. Hanya aktivitas yang menghasilkan
barang dan jasa yang halal saja yang dapat disebut sebagai aktivitas produksi.
Dalam
pandangan islam, aktivitas produksi merupakan bagian dari kewajiban ‘Imarul
kaun, yakni menciptakan kemakmuran semesta untuk semua makhluk. Hukum
bekerja adalah wajib. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil dan hadist Rasulullah
saw:
#sÎ*sù ÏMuÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãϱtFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.ø$#ur ©!$# #ZÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung.” (Surat al-Jumu’ah ayat 10)
Hadist
Rasulullah saw “Mencari pendapatan adalah wajib bagi setiap muslim”
Dengan demikian, kerja mempunyai peran penting dalam
menunaikan suatu kewajiban , dan karenanya hukum bekerja adalah wajib. Disamping itu,
al-Syaibani menyatakan bahwa bekerja merupakan ajaran para Rasul terdahulu dan
Kaum Muslimin diperintahkan untuk meneladani cara hidup mereka.[6]
2) Kekayaan dan kekafiran.
Menurut al-Syaibani, sekalipun banyak dalil yang
menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, sifat-sifat fakir lebih tinggi
derajatnya dari pada sifat-sifat kaya. Karena
menurutnya sifat-sifat kaya berpotensi membawa pemiliknya hidup dalam
kemewahan, dan itu tidak baik. Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir diartikan
sebagai kondisi yang cukup (kifayah), bukan kondisi yang meminta-minta(kafafah).
Ia menyatakan bahwa setelah manusia merasa cukup dari apa yang dia butuhkan
kemudian bergegas pada kebijakan, sehingga mencurahkan perhatiannya pada urusan
akhiratnya adalah lebih baik bagi mereka.
3) Klasifikasi
usaha-usaha perekonomian.
Klasifikasi
usaha-usaha perekonomian ada empat yaitu sewa-menyewa, perdagangan, pertanian,
dan perindustrian. Diantara keempat usaha perekonomian tersebut, al-Syaibani
lebih mengutamakan usaha pertanian dari pada usaha yang lain. Menurutnya,
pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang
dalam berbagai kewajibannya.
4) Hukum,
usaha-usaha perekonomian
Dari
segi hukum, al-Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi dua, yaitu fardu
kifayah dan fardu ‘ain. Berbagai usaha perekonomian dihukumi fardu
kifayah apabila telah ada orang yang mengusahakannya atau menjalankannya.
Berbagai
usaha perekonomian dihukumi fardu ‘ain karena usaha-usaha perekonomian
itu mutlak dilakukan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan orang
yang ditanggungnya.
5) Kebutuhan-
kebutuhan ekonomi
Al-Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah
menciptakan anak-anak Adam sebagai ciptaan yang tubuhnya tidak dapat berdiri
sendiri dengan empat perkara, yaitu makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Jika
empat hal itu tidak terpenuhi, maka ia akan masuk neraka karena manusia
tidak dapat hidup tanpa kempat hal tersebut.
6)
Spesialisasi dan
distribusi pekerjan
Al-syaibani
menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang lain. Manusia
tidak akan bisa hidup sendirian tanpa memerlukan orang lain. Seseorang tidak
akan menguasai pengetahuan semua hal yang dibutuhkan sepanjang hidupnya dan
manusia berusaha keras, usia akan membatasi dirinya. Oleh karena tu, Allah
SWT memberikan kemudahan pada setiap orang untuk menguasai pengetahuan salah
satu diantaranya, sehingga manusia dapat bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Firman Allah SWT:
$uZ÷èsùuur öNåk|Õ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uy xÏGuÏj9 NåkÝÕ÷èt/ $VÒ÷èt/ $wÌ÷ß 3
“Dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang
lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang
lain.” (Surat Az-Zukhruf ayat 32)
Lebih lanjut, al-Syaibani menandaskan
bahwa seorang yang fakir membutuhkan orang kaya sedangkan orang kaya
membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong menolong tersebut manusia
akan semakin mudah menjalankan aktifitas ibadah kepada Nya. Dalam konteks
demikian, Allah SWT berfirman:
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur (ÇËÈ
“..Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa..” (Al-Maidah ayat 2)
Rasulullah saw bersabda:
“sesungguhnya Allah SWT selalu menolong
hamba-Nya selama hamba-Nya tersebut menolong saudara muslimnya.” (HR
Bukhari-Muslim)
Lebih jauh, al-Syaibani menyatakan bahwa
apabila seseorang bekerja dengan niat melaksanakan ketaatan kepada-Nya,
pekerjaannya tersebut niscaya akan diberi ganjaran sesuai dengan niat-nya.
Dengan demikian, distribusi pekerjaan seperti diatas merupakan objek ekonomi
yang mempunyai dua aspek secara kebersamaan, yaitu aspek religius dan aspek
ekonomis.[7]
3.
Abu Ubaid (1038 M)
a.
Riwayat
Hidup
Abu Ubaid yang dikenal sebagai bapak ekonomi Islam
pertama. Nama lengkapnya adalah Al-Qasim bin sallam bin Miskin bin Zaid Al-
Harawi Al- Azari Al-Baghdadi. Ia dilahirkan pada tahun 150 H di kota Harrah,
Khurasan, sebelah barat laut Afghanistan. Setelah memperoleh ilmu yang memadai
di kota kelahirannya karena berkembangnya madzhab Hanafi, dan pada usia 20
tahun, Abu Ubaid pergi untuk menuntut ilmu keberbagai kota, seperti Kufah,
Basrah, dan Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya, antara lain mencakup ilmu tata
bahasa Arab, qira’at, tafsir, hadis,
dan fikih. Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nasr ibn Malik, Gubernur Thugur pada
masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadhi
(hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H. setelah itu, penulis kitab Al-Amwal
ini tinggal di Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H, setelah berhaji, ia
menetap di Mekah sampai wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.
b.
Pemikiran Ekonomi
1)
Filosofi Hukum dari sisi Ekonomi
Filosofi yang dikembangkan Abu
Ubaid bukan merupakan jawaban terhadap berbagai permasalahan sosial, politik,
dan ekonomi yang diimplementasikan melalui kebijakan-kebijakan praktis, tetapi
hanya merupakan sebuah pendekatan yang bersifat professional dan teknokrat yang
bersandar pada kemampuan teknis. Dengan demikian, tanpa menyimpang dari prinsip keadilan dan masyarakat
beradap, pandangan-pandangan Abu Ubaid mengedepankan dominasi intelektualitas
islami yang berakar dari pendekatannya yang bersifat holistic dan teologis
terhadap kehidupan manusia di dunia dan di akhirat, baik yang bersifat
individual maupun sosial.
2)
Dikotomi Badui (masyarakat tradisional/desa)
ke Urban (masyarakat Kota)
Pembahasan mengenai dikotomi badui urban dilakukan
Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi pendapatan fai. Abu Ubaid menegaskan bahwa bertentangan dengan kaum badui,
kaum urban (perkotaan) ikut serta dalam keberlangsungan Negara dengan berbagi
kewajiban administrative dari semua kaum muslim; memelihara dan memperkuat
pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka; menggalakkan
pendidikan melalui proses belajar-mengajar Al-Qur’an dan Sunnah serta
penyebaran keunggulannya; memberikan kontribusi terhadap keselarasan
sosial melalui pembelajaran dan
penerapan hudud; memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah.
Singkatnya, disamping keadilan Abu Ubaid membangun
suatu Negara Islam berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum, dan
kasih sayang. Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah SWT. kepada
kaum urban (perkotaan). Kaum badui yang tidak memberikan kontribusi sebesar fai
sebanyak kaum urban. Dalam hal ini, kaum badui tidak berhak menerima tunjangan
dan provisi dari Negara. Mereka memiliki hak klaim, sementara terhadap
penerimaan fai hanya pada saat terjadi tiga kondisi kritis, yakni ketika
terjadi invasi musuh, kemarau panjang (qa’ihah), dan kerusuhan sipil (fatq).
Abu Ubaid memperluas cakupan kaum badui dengan memasukkan golongan masyarakat
pegunungan dan pedesaan.
Di sisi lain, ia memberikan hak yang sama dengan
orang dewasa kepada anak-anak perkotaan terhadap tunjangan walaupun kecil, yang
berasal dari pendapatan fai. Pemberian hak ini dilakukan mengingat
anak-anak tersebut merupakan penyumbang potensial terhadap kewajiban publik
terkait. Lebih lanjut, Abu Ubaid mengakui adanya hak para budak perkotaan
terhadap jatah yang bukan untuk tujangan.
Pandangan Abu Ubaid tersebut dengan jelas
membedakan antara gaya hidup kaum badui dan kultur menetap kaum urban dan
membangun fondasi masyarakat muslim berdasarkan martabat kaum urban,
solidaritas serta kerja sama merasakan komitmen dan kohesi sosial berorientasi
urban, vertikal dan horizontal, sebagai unsure essential dari stabilitas
sosio-politik dan makro ekonomi. Mekanisme tersebut meminjam banyak dari
universalisme Islam, membuat kultur perkotaan lebih unggul dan dominan
dibanding kehidupan nomaden. Sekalipun demikian, cukup mengejutkan bahwa Abu
Ubaid tidak dapat mengambil langkah selanjutnya serta berspekulasi pada isu-isu
pembagian kerja (division of labor), surplus produksi, pertukaran, dan
lainnya yang berkaitan dengan organisasi perkotaan untuk kerja sama.
Sebenarnya, dalam hal ini analisis Abu Ubaid lebih pada sosio-politik dibanding
ekonomi sehingga Abu Ubaid fokus dalam memelihara dan menjaga keseimbangan
antara hak dengan kewajiban masyarakat.[8]
Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan
kepemilikan publik. Dalam hal kepemilikan, pemikiran Abu Ubaid yang khas adalah
mengenai hubungan antara kepemilikan dan kebijakan perbalkan pertanian. Secara
implisit, Abu Ubaid mengemukakan bahwa kebijakan pemerintahan , seperti iqta’
tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah
tandus yang disuburkan, merupakan insentif untuk meningkatkan produksi
pertanian. Oleh karena itu, tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk
diolah dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur
selama tiga tahun berturut-turut, akan dikenai denda kemudian dialikan
kepemilikannya oleh penguasa.[9]
Dalam pandangan Abu Ubaid, sumber daya publik
seperti: air, padang rumput, dan api tidak boleh dimonopoli seperti hima’
(taman pribadi). Seluruh sumber daya ini hanya dapat dimasukkan kedalam
kepemilikan Negara yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
3)
Kepemilikan dalam Pandangan Kebijakan
Perbaikan Pertanian
Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan
kepemilikan publik. Dalam hal kepemilikan, pemikiran Abu Ubaid yang khas adalah
mengenai hubungan antara kepemilikan dan kebijakan perbalkan pertanian. Secara
implisit, Abu Ubaid mengemukakan bahwa kebijakan pemerintahan , seperti iqta’
tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah
tandus yang disuburkan, merupakan insentif untuk meningkatkan produksi
pertanian. Oleh karena itu, tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk
diolah dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur
selama tiga tahun berturut-turut, akan dikenai denda kemudian dialikan
kepemilikannya oleh penguasa.
Dalam pandangan Abu Ubaid, sumber daya publik
seperti: air, padang rumput, dan api tidak boleh dimonopoli seperti hima’
(taman pribadi). Seluruh sumber daya ini hanya dapat dimasukkan kedalam
kepemilikan Negara yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. [10]
4)
Reformasi Distribusi Zakat
Abu Ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan
bahwa pembagian harta zakat harus dilakukan secara merata di antara delapan
kelompok penerima zakat dan cenderung menentukan suatu batas tertinggi terhadap
bagian perorangan. Bagi Abu Ubaid, yang paling penting adalah memnuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar, seberapapun besarnya, serta menyelamatkan
orang-orang dari bahaya kelaparan. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, Abu
Ubaid tidak memberikan hak penerimaaan zakat kepada orang-orang yang memiliki
40 dirham atau harta lainnya yang setara, di samping baju, pakaian, rumah, dan
pelayan yang dianggapnya sebagai suatu kebutuhan standar hidup minimum.
Di sisi lain, biasanya Abu Ubaid menganggap bahwa
seseorang yang memiliki 200 dirham, yakni jumlah minimum yang terkena wajib
zakat, sebagai “orang kaya” sehingga mengenakan kewajiban zakat terhadap orang
tersebut. Pendekatan yang digunakan Abu Ubaid ini mengindikasikan adanya tiga
kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status zakat, yaitu:
1.
Kalangan kaya yang
terkena wajib zakat;
2.
Kalangan menengah yang
tidak terkena wajib zakat, tetapi juga tidak berhak menerima zakat;
3.
Kalangan penerima
zakat.
Berkaitan dengan distribusi kekayaan melalui zakat,
secara umum Abu Ubaid mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut
kebutuhannya masing-masing” (li kulli wahidin hasba hajatihi). Lebih
jauh, ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat (atau pajak)
yang diberikan kepada para pengumpulnya (amil), pada prinsipnya ia lebih
cenderung pada prinsip “bagi setiap orang adalah sesuai dengan haknya”.
5)
Uang antara Fungsi dan Alat
Pada prinsipnya, Abu Ubaid mengakui adanya dua
fungsi uang, yakni sebagai standar nilai pertukaran (standard of exchange
value) dan media pertukaran (medium of exchange). Dalam hal ini, ia
menyatakan,
“Hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak
tidak layak untuk apapun, kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa.
Keuntungan yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah
penggunaannya untuk membeli sesuatu (infaq).”
Pernyataan Abu Ubaid tersebut
menunjukkan bahwa ia mendukung teori konvensional mengenai uang logam, walaupun
sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk apapun,
kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Tampaknya, Abu Ubaid merujuk pada kegunaan umum dan
relative konstanta nilai dari kedua benda tersebut dibandingkan dengan
komoditas yang lainnya. Jika kedua benda tersebut juga digunakan sebagai
komoditas, nilai dari keduanya akan dapat berubah-ubah pula. Karena dalam hal
tersebut keduanya akan memainkan dua peran yang berbeda, yakni sebagai barang
yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang-barang lainnya.
Di samping itu, sekalipun tidak menyebutkannya secara jelas, Abu Ubaid secara
implisit mengakui adanya fungsi uang sebagai penyimpanan nilai (store of
value) ketika membahas jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena
zakat.[11]
Salah satu cirri khas Kitab Al-Amwal di
antara kitab-kitab lain yang membahas keuangan publik (public finance)
adalah pembahasan tentang timbangan dan ukuran, yang biasa digunakan dalam
menghitung beberapa kewajiban agama yang berkaitan dengan harta atau denda,
dalam satu bab khusus. Dalam bab ini, Abu Ubaid juga menceritakan usaha
Khalifah Abdul Al-Malik ibn Marwan dalam melakukan standardisasi dari berbagai
jenis mata uang yang ada dalam sirkulasi.
Jelasnya, pemikiran Abu Ubaid
dalam kitabnya ingin menyatakan bahwa segala kebijakan yang hanya menguntungkan
sekelompok masyarakat dan membebani sekelompok masyarakat lainnya harus
dihindari Negara semaksimal mungkin. Pemerintah harus mengatur harta kekayaan
Negara agar dimanfaatkan demi kepentingan bersama dan mengawasi hak kepemilikan
pribadi agar tidak disalahgunakan sehingga tidak menganggu atau mengurangi
manfaat bagi masyarakat umum.
Pandangan-pandangan Abu Ubaid
juga merefleksikan perlunya memlihara dan mempertahankan keseimbangan antara
hak dan kewajiban masyarakat, rasa persatuan, dan tanggung jawab bersama. Di samping itu, Abu Ubaid juga secara tegas
menyatakan bahwa pemerintah wajib memberikan jaminan standar kehidupan yang
layak bagi setiap individu dalam sebuah masyarakat muslim.[12]
4.
Ibn Miskawaih (1030 M)
a.
Riwayat Hidup
Nama lengkapnya
Abu ’Ali al-Khazin Ahmad ibn Ya’qub ibn Miskawaih, adalah seorang filsuf
muslim yang dianggap mampu memadukan dua tradisi pemikiran Yunani dan Islam, di
samping juga ahli dalam filsafat Romawi, India, Arab, dan Persia, yang
memusatkan perhatiannya pada filsafat etika Islam, meskipun sebenarnya
Miskawaih adalah juga seorang dokter, sejarawan dan ahli bahasa. Lebih dikenal
dengan nama Miskawaih atau Ibn Miskawaih. Nama itu diambil dari nama kakeknya
yang semula beragama Majusi (Persia) yang kemudian masuk Islam. Julukannya
adalah Abu ’Ali, yang merujuk kepada sahabat ’Ali ibn Abi Tholib, di samping
juga bergelar al-Khazin yang berarti bendaharawan, karena jabatannya
sebagai bendaharawan (baca: mentri keuangan) pada masa kekuasaan ’Adlud
al-Dawlah dari Bani Buwaih (al-dawlah al-buwaihiyyah).[13]
b.
Pemikiran Ekonomi
Salah satu pandangan Ibn Miskawaih yang terkait dengan aktivitas ekonomi
adalah tentang pertukaran dan peranan uang. Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa
manusia merupakan makhluk sosial dan tidak bisa hidup sendiri. Menurut Ibnu
Miskawaih, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus bekerja sama dan
saling membantu dengan sesamanya. Menurut Ibnu Miskawaih, manusia akan saling
mengambil dan memberi. Konsekuensinya, mereka akan menuntut suatu kompensasi
yang pantas
Menurut Ibnu Miskawaih, barter jasa dua profesi berbeda, akan menjadi
reward jika kedua karya tersebut seimbang. Menurut Ibnu Miskawaih, jika barter
dua jasa tidak seimbang, maka Dinar bisa jadi alternatif penyeimbang. Ibnu
Miskawaih menegaskan bahwa logam yang dapat dijadikan sebagai mata uang adalah
logam yang dapat diterima secara universal. Menurut Ibnu Miskawaih, konvensi
uang logam yaitu tahan lama, mudah dibawa, tidak mudah rusak, dikehendaki orang
dan orang senang melihatnya.[14]
Selain itu, Miskawaih mengatakan bahwa agama dan
kerajaan bagai saudara kembar atau dua sisi dari mata uang yang sama (two side
or the same coin), yang tidak dapat sempurna tanpa yang lain. Agama
merupakan landasan dasar, kerajaan merupakan pengawalnya. Segala sesuatu tanpa
landasan dasar akan mudah hancur, dan segala sesuatu tanpa pengawal akan
sia-sia.
Miskawaih menegaskan bahwa yang menjaga tegaknya syariat Islam adalah imam
yang kekuasaannya seperti kekuasaan raja. Tidak dikatakan raja jika tidak
menjaga keselamatan agama. Penguasa yang berpaling dari agama adalah penjajah
(mutaghallib). Karena seorang raja yang melampaui batas kewenangannya akan
mengakibatkan kelemahan dan kerusakan. Kedudukan agama menjadi goyah, akhirnya
kebahagiaan yang didambakan berbalik menjadi kesengsaraan, perselisihan, dan
perpecahan. Jika demikian, tibalah saatnya untuk diadakan perubahan pimpinan
kerajaan, yaitu imam yang sebenarnya dan raja yang adil.[15]
Adapun pemikiran Ibn Miskawaih adalah sebagai berikut:
1)
Jiwa atau Roh
Jiwa yang merupakan limpahan dari akal aktif bersifat rohani, sehingga
tidak dapat diraba menggunakan pancaindera. Jiwa bersifat rohani atau tidak
bersifat material dibuktikan oleh Miskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa
dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang berlawanan. Misalnya,
jiwa dapat menerima gambaran hitam-putih dalam waktu yang sama, sedangkan
materi hanya dapat menerima salah satu saja. Jiwa dapat menerima gambaran
segala sesuatu, baik yang inderawi maupun yang spiritual.
Dalam jiwa, terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan
pengenalan inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan
antara yang benar dan yang tidak benar dari apa yang diperoleh pancaindera.
Perbedaan itu dilakukan dengan cara membanding-bandingkan obyek-obyek inderawi
yang satu dengan yang lain, serta membedakannya. Dengan demikian, jiwa
bertindak sebagai pembimbing pancaindera dan membetulkan kekeliruan-kekeliruan
yang dialami pancaindera
2)
Akhlak
Paradigma pemikiran Ibnu Miskawaih dalam bidang ahklak memiliki
keunikan-keunikan tersendiri. Pemikiran akhlak Ibnu Miskawaih banyak dipengaruhi
oleh pemikiran filosof Muslim—seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Razi—dan
dikombinasikan dengan pemikiran filosof Yunani—seperti Aristoteles, plato, dan
Galen—sebagai pelengkap. Jadi, Miskawaih lebih memilih untuk mendasarkan
etikanya pada ajaran agama Islam (al-Qur’an dan hadits), mengambil pemikiran
dari sumber lain jika sejalan dengan agama Islam, serta
menolaknya jika bertentangan.
Miskawaih mengartikan akhlak (jamak dari khuluk) sebagai keadaan jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan
diperhitungkan sebelumnya. Dengan kata lain, akhlak merupakan keadaan jiwa yang
mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara spontan.Keadaan jiwa ini terbagi
menjadi dua jenis, yaitu yang berasal dari watak, dan yang berasal dari
kebiasaan dan latihan. Kedua watak tersebut pada hakekatnya tidak alami.[16]
Miskawaih menolak pandangan orang-orang Yunani yang mengatakan bahwa akhlak
manusia tidak dapat berubah. Bagi Miskawaih, akhlak yang tercela bisa berubah
menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan pendidikan dan latihan-latihan.
Pemikiran ini sejalan dengan ajaran agama Islam yang menyatakan bahwa
kedatangan Nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia.
5.
Al -Mawardi (1058 M)
a.
Riwayat
Hidup
Nama lengkapnya ialah Ali bin Muhammad bin Habib
Al-Mawardi Al-Basri, Al-Syafie. Para
ahli sejarah dan tabaqat memberi gelar kepada beliau dengan sebutan Al-Mawardi,
Qadi al-Qudhat, Al-Basri dan Al-Syafi’i. Nama Al-Mawardi dinisbahkan kepada air mawar (ma’ul wardi) kerana bapak
dan datuknya adalah penjual air mawar. Gelar Qadi Al-Qudhat disebabkan beliau
seorang ketua kadi yang alim dalam
bidang fiqih. Gelar ini diterima pada tahun 429 hijriah. Gelar Al-Basri
ialah kerana beliau lahir di Basrah.
Sementara nama penggantinya (nama kinayah) ialah Abu Hassan.
Imam Al-Mawardi dilahirkan di Basrah pada tahun 364
hijrah bersamaan pada tahun 974 masehi. Beliau dibesarkan dalam keluarga yang
mempunyai perhatian yang besar kepada ilmu pengetahuan. Al-Mawardi wafat pada
tanggal 30 bulan Rabi’ul Awwal tahun
450 hijrah bersamaan 27 Mei 1058 masehi. Ketika itu beliau berumur 86 tahun. Bertindak sebagai imam pada
sholat Jenazah beliau Al-Khatib Al-Baghdadi. Banyak para pembesar dan ulama yang
menghadiri pemakaman beliau. Jenazah Al-Mawardi dimakamkan di perkuburan Bab
Harb di Baghdad. Kewafatannya terpaut 11 hari dari kewafatan Qadi Abu Taib.[17]
b.
Pemikiran
Ekonomi
1)
Negara
dan Aktivitas Ekonomi
Teori keuangan publik selalu terkait dengan peran
negara dalam kehidupan ekonomi. Negara dibutuhkan karena berperan untuk
memenuhi kebutuhan korelatif seluruh warga negaranya. Al-Mawardi berpendapat
bahwa pelaksanaan Imamah (kepemimpinan politik keagamaaan) merupakan
kekuasaan mutlak (absolut) dan pembentukannya merupakan suatu keharusan demi
terpeliharannya agama dan pengelolaan dunia.
Al-Mawardi membahas masalah pengangkatan imamah
(kepala negara/pemimpin). Baginya, imam (yang dalam pemikirannya adalah seorang
raja, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya. Artinya, keberadaannya
sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa
imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga
suatu bangsa menjadi tidak berharga. Ketentuan seorang imamah yang dianggap legal? Dalam hal ini, Al Mawardi
menjelaskan, jabatan imamah (kepemimpinan) dinilai sah apabila memenuhi dua
metodologi. Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahlul halli wal aqdi). Mereka
inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga disebut
model Al Ikhtiar. Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya. Dalam masalah pemecatan seorang khalifah, Al
Mawardi menyebutkan dua hal yang mengubah kondisi dirinya, dan karenanya ia
harus mundur dari jabatannya itu. Pertama,
cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat syahwat, atau akibat syubhat.
Kedua, cacat tubuh.
Dalam perspektif ekonomi, pernyataan Al-Mawardi ini berarti bahwa negara
memiliki peran aktif demi terealisasinya tujuan material dan spiritual.Ia
menjadi kewajiban moral bagi penguasa dalam membantu merealisasikannya kebaikan
bersama, yaitu memelihara kepentingan masyarakat serta mempertahankan
stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Al-Mawardi berpendapat bahwa negara harus menyediakan
infrastruktur yang diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umum.
2)
Perpajakan
Masalah perpajakan juga tidak luput dari perhatian
Al-Mawardi. Menurutnya, penilaian atas kharaj (pajak) hatus bervariasi
sesuai denagn faktor-faktor yang menentukan kemampuan tanah dalam membayar
pajak, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman dan sistem irigasi.
Al-Mawardi menjelaskan alasan penyebutan ketiga hal tersebut sebagai faktor
yang sangat penting dalam melakukan penilaian kharaj (pajak) karena
sedikit banyaknya jumlah produksi bergantung kepadanya. Jenis tanaman juga turut berpengaruh terhadap penilain
kharaj berbagai jenis tanaman karena mempunyai variasi harga yang
berbeda-beda. Begitupun pula halnya denan sistem irigasi. Tanaman yang
menggunakan sistem irigasi secara manual tidak dapat dikenai sejumlah pajak
yang sama dengan tanaman yang menggunakan sistem irigasi alamiah.
Menurut Al-Mawardi, berikut ini merupakan metode penetapan kharaj:
a.
Metode
Misahah yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah metode
ini merupakan ini merupakan fixed-tax, terlepas dari apakah tanah
tersebut ditanami atau tidak, selama tanah tersebut memang bisa ditanami.
b.
Metode
penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami saja. Dalam
metode ini, tanah subur yang tidak dikelola tidak termasuk dalam penilaian
objek kharaj.
c.
Metode
Musaqah yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan persentase dari hasil
produksi . Dalam metode ini, pajak
dipungut setelah tanaman mengalami masa panen.
3)
Politik
Ketajaman
pemikiran Al-Mawardi dalam bidang politik sebagaimana dijumpai dalam karyanya
yang berjudul Al-ahkam As-Shulthoniyah secara antropologis dan sosiologis tidak
dapat dilepaskan dari situasi politik yang tengah mengalami kekacauan. Dimana,
terjadi tuntutan dari berbagai golongan agar suatu jabatan pada masanya dapat diisi
oleh orang non-Arab dan tidak suku Quraisy. Tuntutan itu sebagaimana dapat
diperkirakan menimbulkan reaksi dari golongan lain, khususnya dari golongan
Arab, yang ingin mempertahankan syarat keturunan Quraisy untuk mengisi jabatan
kepala negara, serta syarat kebangsaan Arab dan beragama Islam untuk menjabat
wazir atau tawfidh atau penasehat dan pembantu utama khalifah dalam menyusun
kebijaksanaan.
Sebagai reaksi terhadap situasi politik pada zamannya maka al-Mawardi turut
menyelesaikan permasalan tersebut dengan didasarkan pada teori politiknya atas
kenyataan yang ada dan kemudian secara realistik menawarkan saran-saran
perbaikan atau reformasi misalnya mempertahankan dan menekankan bahwa khalifah
harus tetap berbangsa Arab dari suku Quraisy, bahwa wazir tafwidh (pembantu
utama khalifah dalam penyusunan kebijaksanaan) harus berbangsa Arab, dan perlu
ditegaskan persyaratan bagi pengisian jabatan kepala negara serta
jabatan-jabatan pembantunya yang penting.
Adapun teori politik Al Mawardi sebagai
berikut:
a.
Imamah ( Kepemimpinan )
Pada bagian awal dari kitabnya al-Mawardi menyebutkan
bahwa imamah/ kekhilafahan dibentuk untuk menggantikan posisi kenabian dalam
mengurus urusan agama dan mengatur kehidupan dunia. Yang di maksudkan
oleh al-Mawardi dengan Imam adalah khalifah, raja, sulthan atau kepala negara.
Dalam hal ini Mawardi memberikan juga baju agama kepada jabatan kepala negara
di samping baju politik. Menurutnya Allah mengangkat untuk umatnya seorang
pemimpin sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan negara, disertai
dengan mandat politik. Dengan demikian seorang imam di satu pihak adalah
pemimpin agama, dan di lain pihak pemimpin politik.[18][27]
Dalam teorinya al-Mawardi tidak mendikotomikan antara pemimpin politik dan
pemimpin agama. Sejarah juga telah menunjukkan bahwa Rasulullah saw ketika
memimpin negara Madinah selain sebagai pembawa ajaran Tuhan, juga sebagai
pemimpin negara.[19]
b.
Cara
pemilihan atau seleksi Imam
Al-Mawardi mengemukakan pendapatnya
tentang pemerintahan terbentuk melalui dua kelompok. Pertama ahl al-ikhtiyar yaitu mereka yang
berwenang untuk memilih imam bagi umat. Dan kedua, ahl al-imamah yaitu mereka yang berhak memangku jabatan kepala
pemerintahan. Bagi ahl al-ikhtiyar
padanya harus memiliki tiga syarat: (1) memiliki sikap adil; (2) Memiliki ilmu
pengetahuan yang memungkinkan mereka mengetahui siapa yang memenuhi syarat
untuk diangkat menjadi imam; (3) Bijaksana dan idealis dalam menentukan
pilihannya, siapa yang lebih pantas dan terbilang jujur dalam memimpin umat
Islam. Namun siapa yang berhak menjadi anggota ahl al-ikhtiyar dan bagaimana cara rekrutmen anggota tersebut tidak
dijelaskan lebih jauh oleh Mawardi.
Ahl
al-imamah sebagai orang yang berhak menjadi pemimpin, menurut Mawardi harus memiliki
tujuh syarat:
ü Sikap adil dengan segala
persyaratannya
ü Memiliki ilmu pengetahuan yang
memadai untuk berijtihad
ü Sehat pendengaran, pengelihatan, dan
lisannya
ü Utuh anggota-anggota tubuhnya
ü Memiliki
wawasan yang baik untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan
umum
ü Keberanian yang memadai untuk
melindungi rakyat dan menghadapi musuh
ü Keturunan Quraisy.
Dalam mengangkat kepala pemerintahan
terdapat dua cara. Pertama, cara pemilihan yang dilakukan oleh sekelompok orang
yang duduk dalam ahl al-halli wa al-‘aqdi
atau ahl al-ikhtiyar yakni para
ulama cendikiawan dan pemuka masyarakat. Kedua,
dengan cara penunjukkan atau wasiat oleh kepala pemerintahan yang sedang
berkuasa.
Menurut Mawardi, mengapa
pengangkatan imam atau khalifah dapat dilakukan dengan penunjukan atau wasiat
oleh imam yang sebelumnya, dasarnya yang pertama adalah karena Umar bin Khattab
menjadi khalifah melalui penunjukkan oleh pendahulunya, yaitu Abu Bakar. Demikian
pula halnya Usman. Enam anggota “dewan formatur” yang memilihnya sebagai
khalifah adalah ditunjuk oleh pendahulunya, Umar bin Khattab. Dalam hal
pengangkatan imam melalui penunjukkan atau wasiat oleh imam yang berkuasa,
al-Mawardi menyatakan bahwa sebelum menunjuk calon penggantinya, seorang imam
harus berusaha agar yang ditunjuknya itu benar-benar berhak untuk mendapatkan
kepercayaan dan kehormatan yang tinggi dan orang yang betul-betul paling
memenuhi syarat.
Kalau yang ditunjuk sebagai calon
pengganti itu bukan anak atau ayah sendiri, maka terdapat perbedaan pendapat,
yaitu apakah imam boleh melaksanakan bai’at sendiri atau tidak. Sekelompok
ulama berpendapat tidak boleh tidak dibenarkan imam seorang diri melaksanakan
bai’at anak atau ayahnya sendiri. Dia harus bermusyawarah dengan ahl
al-ikhtiyar dan mengikuti nasehat mereka. Kelompok ulama kedua mengemukakan
bahwa imam seorang diri berhak melaksanakan bai’at kepada anak atau ayahnya
sendiri sebagai putra mahkota.
Sedangkan kelompok yang ketiga berpendapat
bahwa kalau yang ditunjuk sebagai putra mahkota itu ayahnya, imam dapat
melaksanakan bai’at seorang diri. Tetapi tidak demikian halnya kalau yang
ditunjuk sebagai putra mahkota itu anaknya. Sikap kehati-hatiannya Al Mawardi didasarkan
pada fakta sejarah yang menunjukkan tidak ditemukannya suatu sistem yang baku
tentang pengangkatan kepala negara yang dapat dikatakan pasti bahwa itulah
sistem Islami.[20]
[1]
Adimarwan
Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Pustaka Pelajar,
2002), hlm. 68
[2]
Nur Chamid, Jejak
Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), hlm. 154-155
[3]
Euis Amelia,
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Pustaka Asatrus, 2005), hlm. 73
[4] Ibid., hlm. 75
[5]
Adimarwan Karim, Sejarah
Pemikiran ekonomi Islam, hlm. 70-73
[6] Ibid., hlm. 75
[10]
Boedi
Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam (Bandung: CV Pustaka Setia,
2010), hlm. 173-174
[11] Ibid,. hlm. 175
[12]
Boedi
Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam , hlm. 175-182
[13] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosuf dan Filsafatnya, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2009), hlm.. 127
[14] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, hlm. 17
[20] Ibid.
T-Mobile app in Canada: A full review | iTech
BalasHapusThe latest version of the T-Mobile app can be accessed in titanium framing hammer the Play Store on iOS and Android. titanium stronger than steel In the new guy tang titanium toner version, you'll apple watch stainless steel vs titanium be head titanium ti s6 able to access the
Casino Finder (Google Play) Reviews & Demos - Go
BalasHapusCheck Casino Finder (Google gri-go.com Play). https://septcasino.com/review/merit-casino/ A look at 토토사이트 some of the best gambling sites in the nba매니아 world. They offer a full game library,