Pemikiran Ekonomi Islam



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pemikiran Ekonomi Islam periode Klasik
  1. Abu Yusuf (798 M)
a.    Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Ya'qub bin Ibrahim bin Habib bin Kunais bin Sa'ad al Anshari al Jalbi al Kufi al Bagdadi, atau yang lebih dikena sebagai Abu Yusuf. Dia lahir di Kuffah pada tanggal 113 H (731 M) dan meninggal dunia di Bagdad pada tahun 182 H (798 M). Dari nasab ibunya ia masih mempunyai hubungan darah dengan salah seorang sahabat Rasulullah SAW., Saad Al Ansari. Keluarganya bukan berasal dari lingkungan berada, tetapi sejak kecil ia mempunyai minat yang sangat kuat terhadap ilmu pengetahuan, hal ini dipengaruhi oleh suasana Kuffah yang ketika itu merupakan salah satu pusat peradaban Islam. Tempat para cendekiawan muslim dari seluruh penjuru dunia Islam datang silih berganti untuk saling bertukar pikiran berbagai bidang keilmuan.
Abu Yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak ulama besar seperti Abu Muhammad Atta bin As-Sa'id al Kufi, Sulaiman bin Mahran al A'masy, Hisyam bin Urwah, dll. Selain itu ia juga menuntut ilmu kepada pendiri madzab Hanafi yaitu Abu Hanifah. Sepeninggal gurunya, Abu Yusuf bersama Al Hasan asy-Syaibani menjadi tokoh pelopor dalam menyebarkan dan mengembangkan madzab Hanafi.[1]

b.   Pemikiran Ekonomi
Dalam pemikirannya, Abu Yusuf lebih ditekankan pada tanggung jawab penguasa. Ia lebih cenderung negara menyetujui jika negara mengambil bagian dari hasil pertanian, dari pada menarik sewa dari lahan pertanian serta menekankan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap para pemungut pajak untuk menghindari korupsi dan tindak penindasan. Abu Yusuf menganggap bahwa penghapusan penindasan dan jaminan kesejahteraan rakyat sebagai tugas utama penguasa.
Dalam pandangan Abu Yusuf tugas utama penguasa adalah mewujudkan dan menjamin kesejahteraan rakyatnya. Ia selalu menekan pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat dan mengembangkan berbagai proyek yang berorientasi pada kesejahteraan umum. Dengan mengutip pernyataan Umar ibn Al Khaththab ia mengungkapkan bahwa sebaik-baik penguasa adalah mereka yang memerintah demi kemakmuran rakyatnya, dan seburuk-buruk penguasa adalah mereka yang memerintah tapi rakyatnya malah menemui kesulitan.
1)   Kebijakan Fiskal
Abu yusuf merupakan ahli fiqh pertama yang mencurahkan perhatiannya pada permasalahan ekonomi. Pemikiran utamanya terletak pada tanggung jawab ekononomi penguasa terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat, pentingnya keadilan, pemerataan dalam pajak serta kewajiban penguasa untuk menghargai uang publik sebagai amanah yang harus digunakan sebaik-baiknya. Subjek utama Abu Yusuf adalah perpajakan dan tanggung jawab ekonomi dari negara.
Beliau menginginkan terhapusnya penindasan, tegaknya keadilan, dan terwujudnya kesejahteraan rakyat. Abu Yusuf mencoba menyampaikan dan mendesak para penguasa sebagai tanggung jawab negara berkaitan dengan status Baitul Maal, prinsip-prinsip perpajakan dan hubungan pertanian kondusif untuk kemajuan sosial. Kontribusi lain adalah dengan menunjukkan keunggulan sistem pajak proposional (muqasamah) menggantikan sisitem pajak tetap (misahah).[2]
2)   Kuangan Publik
a)         Ghanimah
Ghanimah adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta orang kafir melalui peperangan.Dikatakan Abu Yusuf bahwa ghanimah merupakan sumber pemasukan Negara. Pemasukan dari ghanimah tetap ada dan menjadi bagian yang penting dalam keuangan publik. Akan tetapi, karena sifatnya yang tidak rutin, maka pos ini dapat digolongkan sebagai pemasukan yang tidak tetap bagi Negara.
b)         Zakat
Sesuai dengan ekonomi negara pada masa Islam yang bertumpu pada hasil pertanian, para cendekiawan muslim banyak menekankan pada cara memanfaatkan tanah gersang yang tidak ditanami. Dalam hal ini Abu Yusuf mengatakan bahwa semua jenis tanah mati dan tak bertuan harus diberikan pada seorang yang dapat mengembangkan dan menanaminya serta membayar pajak pada tanah yang diterapkan tersebut. Tindakan seperti ini membuat negara berkembang dan pajak pendapatan akan meningkat.
Diantara objek pajak yang menjadi perhatiannya adalah zakat pertanian. Jumlah pembayaran zakat pertanian adalah sebesar usyr yaitu 10% dan 5%, tergantung dari jenis tanah dan irigasi. Yang termasuk kategori tanah ‘usryiyah menurut Abu Yusuf adalah :
1.         Lahan yang termasuk jazirah arab, meliputi hijaz, makkah, madinah dan yaman.
2.         Tanah tandus / mati yang dihidupkan kembali oleh orang islam.
3.         Setiap tanah taklukan yang dibagikan kepada tentara yang ikut berperang, seperti kasus tanah khaibar.
4.         Tanah yang diberikan kepada orang islam, seperti tanah yang dibagikan melalui institusi iqta kepada orang-orang yang berjasa bagi Negara.
5.         Tanah yang dimiliki oleh orang islam dari Negara, seperti tanah sebelumnya dimiliki oleh raja-raja Persia dan keluarganya, atau tanah yang ditinggalkan oleh musuh yang terbunuh atau melahirkan diri dari peperagan.
c)         Faiy’
Faiy’ adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum muslimin dari harta orang kafir tanpa peperangan, temasuk harta yang mengikutinya, yaitu kharaj tanah tersebut, jizyah perorangan dan usyr dari perdagangan.
Semua harta faiy’ dan harta- harta yang mengikutinya berupa kharaj, jizyah dan usyr merupaka harta yang boleh dimanfaatkan oleh kaum muslimin dan disimpan dalam Bait Al-Mal, semuanya termasuk kategori pajak dan merupakan sumber pendapatan tetap bagi Negara, harta tersebut dapat dibelanjakan untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan Umat.
d)        Jizyah
Jizyah adalah pajak yang harus dibayar oleh penduduk non muslim yang tinggal dan dilindungi dalam sebuah Negara Islam. Rasulullah menetapkan jizyah melalui sahabatnya Muad Bin Jahal ketika diutus ke yaman, sebanyak 1 dinar setiap orang yang sudah baligh.
e)         ‘Usyr
Usyr adalah bea impor yang dikenakan pada semua pedagang yang melintasi perbatasan negara wajib membayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya lebih darii 200 dirham. Tingkat bea kepada muslim 5%dan kepada non muslim 2,5%.[3] 
Adapun, usyr merupakan hak kaum muslim yang diambil dari harta perdagangan ahl jimmah dan penduduk kaum harbi yang melewati perbatasan Negara islam. Usyr dibayar dengan cash atau barang. Abu yusuf, melaporkan bahwa Abu Musa al- As’ari, salah seorang gurbernur, pernah menulis kepada khalifah umar bahwa para pedagang muslim dikenakan bea dengan tarif sepersepuluh di tanah – tanah harbi. Khalifah umar menasehatinya untuk melakuka tiga hal yang sama dengan menarik bea dari mereka seperti yang mereka lakukan kepada pedagang muslim.
Tarif usyr ditetapkan sesuai dengan status pedagang. Jika ia muslim maka ia akan dikenakan zakat pedagang sebesar 2,5% dari total barang yang dibawanya. Sedangkan ahl jimah dikenakan tarif 5%, dan kafir harbi, dikenakan tarif 10%. Selain itu, kafir harbi dikenakan bea sebanyak kedatangan mereka ke Negara islam dengan barang yang sama tetapi, bagi pedagang muslim dan pedagang ahl jimmah bea hanya dikenakan sekali dalam setahun.
Dalam pengumpulan bea, Abu Yusuf mensyaratkan dua hal yang harus dipertimbangkan. Pertama, barang-barang tersebut haruslah barang-barang yang dimaksudkan untuk diperdagangkan.Kedua, nilai barang yang dibawa tidak kurang dari 200 dirham.
f)          Kharaj
Kharaj adalah pajak tanah yang dikuasai oleh kaum Muslim, baik karena peperangan maupun karena pemiliknya mengadakan perjanjian damai dengan pasukan muslim. Mereka tetap menjadi pemilik sah dari tanah-tanahnya tetapi dengan membayar pajak (kharaj) sejumlah tertentu kepada Baitul Maal.
Dalam hal penetapan pajak Abu Yusuf cenderung menyetujui mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Menurutnya, sistem perpajakan terbaik untuk menghasilkan pemasukan lebih banyak bagi keuangan negara dan yang paling tepat untuk menghindari kedzaliman bagi para pembayar pajak oleh para pengumpul pajak adalah pajak pertanian secara proporsional. Sisem ini akan menghalau kedzaliman terhadap para pembayar pajak dan menguntungkan keuangan negara.[4]
3)   Mekanisme Pasar
Menurut Abu yusuf, sistem ekonomi islam mengikuti prinsip mekanisme pasar dengan memberikan kebebasan yang optimal bagi para pelaku di dalamnya, yaitu produsen dan konsumen. Jika karena sesuatu hal selain monopoli, penimbunan, atau aksi sepihak yang tidak wajar dari produsen terjadi kenaikan harga, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi dengan mematok harga. Penentuan harga sepenuhnya diperankan oleh kekuatan permintaan dan penawaran dalam ekonomi.
Dalam hal ini, pengendalian harga menjadi point kontroversial dari pemikiran Abu Yusuf. Ia menentang penguasa yang menetapkan harga, argumennya didasarkan pada hadits Rasulullah SAW., "Pada masa rasulullah SAW., harga-harga melambung tinggi, para sahabat mengadu kepad Rasulullah dan memintanya agar melakukan penetapan harga. Rasulullah SAW., bersabda 'tinggi rendahnya harga barang merupakan bagian dari ketentuan Allah, kita tidak bisa mencampuri urusan dan ketetapan-Nya'.[5]

2.      Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (804 M)
a.      Riwayat Hidup.
Abu Abdilah Muhammad bin al-Hasan bin Farqad al-Syaibani lahir pada tahun 132 H (750 M) di kota Wasit, Ibu Kota Irak pada masa akhir pemerintah Bani Umawiyyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaibani diwilayah Jazirah Arab. Bersama dengan orang tuanya, al-Syaibani pindah ke kota Kufah yang ketika itu merupakan salah satu pusat kegiatan ilmiah.
Dalam menuntut ilmu, al-Syaibani tidak hanya berinteraksi dengan para Ulama Ahl al-Ra’yi, tetapi juga Ulama Ahl al-Hadist. Ia layaknya ulama terdahulu yang berkelana ke berbagai tempat seperti Madinah, Makkah, Syiria, Basrah dan Khurasan untuk belajar kepada Ulama Besar. Setelah memperoleh ilmu yang memadai, al-Syaibani kembali ke Baghdad. Ia mempunyai peranan penting dalam Majelis Ulama dan kerap didatangi para penunut ilmu. Hal itu semakin memudahkannya dalam mengembangkan Madzab Hanafi. Berkat keluasan ilmunya, setelah Abu Yusuf meninggal dunia, ia diangkat sebagai hakim di kota Riqqah, Irak. Namun hal itu hanya berlangsung singkat, karena ia mengundurkan diri untuk lebih berkonsentrasi pada pengajaran fiqh.   Al-syaibani meninggal dunia pada tahun 189 H (804 M) di kota al-Ray, dekat Teheran, dalam usia 58 tahun.



b.      Pemikiran Ekonomi
Dalam mengungkap pemikiran ekonomi al-Syaibani, para ekonom muslim banyak merujuk pada kital al-kasb yang berisikan tentang kajian mikro ekonomi yang berkisar pada teori kasb (pendapatan) dan sumber-sumbernya. Kitab ini merupakan kitab pertama di dunia islam yang yang membahas permasalahan ini.
1)   Al-Kasb (kerja)
Al-Syaibani mendefinisikan al-Kasb (kerja) sebagai mencari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi, aktivitas demikian temasuk dalam aktivitas produksi. Dalam ekonomi islam, tidak semua aktivitas yang menghasilkan suatu barang atau jasa disebut aktivitas produksi. Hanya aktivitas yang menghasilkan barang dan jasa yang halal saja yang dapat disebut sebagai aktivitas produksi.
Dalam pandangan islam, aktivitas produksi merupakan bagian dari kewajiban ‘Imarul kaun, yakni menciptakan kemakmuran semesta untuk semua makhluk. Hukum bekerja adalah wajib. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil dan hadist Rasulullah saw:
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.øŒ$#ur ©!$# #ZŽÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ  
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Surat al-Jumu’ah ayat 10)
Hadist Rasulullah saw “Mencari pendapatan adalah wajib bagi setiap muslim”
Dengan demikian, kerja mempunyai peran penting dalam menunaikan suatu kewajiban , dan karenanya hukum  bekerja adalah wajib. Disamping itu, al-Syaibani menyatakan bahwa bekerja merupakan ajaran para Rasul terdahulu dan Kaum Muslimin diperintahkan untuk meneladani cara hidup mereka.[6]
2)   Kekayaan dan kekafiran.
Menurut al-Syaibani, sekalipun banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, sifat-sifat fakir lebih tinggi derajatnya dari pada sifat-sifat kaya. Karena menurutnya sifat-sifat kaya berpotensi membawa pemiliknya hidup dalam kemewahan, dan itu tidak baik. Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir diartikan sebagai kondisi yang cukup (kifayah), bukan kondisi yang meminta-minta(kafafah). Ia menyatakan bahwa setelah manusia merasa cukup dari apa yang dia butuhkan kemudian bergegas pada kebijakan, sehingga mencurahkan perhatiannya pada urusan akhiratnya adalah lebih baik bagi mereka.
3)   Klasifikasi usaha-usaha perekonomian.
Klasifikasi usaha-usaha perekonomian ada empat yaitu sewa-menyewa, perdagangan, pertanian, dan perindustrian. Diantara keempat usaha perekonomian tersebut, al-Syaibani lebih mengutamakan usaha pertanian dari pada usaha yang lain. Menurutnya, pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam berbagai kewajibannya.
4)   Hukum, usaha-usaha perekonomian
Dari segi hukum, al-Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi dua, yaitu fardu kifayah dan fardu ‘ain. Berbagai usaha perekonomian dihukumi fardu kifayah apabila telah ada orang yang mengusahakannya atau menjalankannya.
Berbagai usaha perekonomian dihukumi fardu ‘ain karena usaha-usaha perekonomian itu mutlak dilakukan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan orang yang ditanggungnya.
5)   Kebutuhan- kebutuhan ekonomi
Al-Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai ciptaan yang tubuhnya tidak dapat berdiri sendiri dengan empat perkara, yaitu makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Jika empat hal itu tidak terpenuhi, maka ia akan masuk neraka karena manusia tidak dapat hidup tanpa kempat hal tersebut.
6)   Spesialisasi dan distribusi pekerjan
Al-syaibani menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang lain. Manusia tidak akan bisa hidup sendirian tanpa memerlukan orang lain. Seseorang tidak akan menguasai pengetahuan semua hal yang dibutuhkan sepanjang hidupnya dan manusia berusaha keras, usia akan membatasi dirinya. Oleh karena tu, Allah SWT memberikan kemudahan pada setiap orang untuk menguasai pengetahuan salah satu diantaranya, sehingga manusia dapat bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Firman Allah SWT:
$uZ÷èsùuur öNåk|Õ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uyŠ xÏ­GuÏj9 NåkÝÕ÷èt/ $VÒ÷èt/ $wƒÌ÷ß 3
“Dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain.” (Surat Az-Zukhruf ayat 32)
Lebih lanjut, al-Syaibani menandaskan bahwa seorang yang fakir membutuhkan orang kaya sedangkan orang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong menolong tersebut manusia akan semakin mudah menjalankan aktifitas ibadah kepada Nya. Dalam konteks demikian, Allah SWT berfirman:
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur (ÇËÈ  
“..Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa..” (Al-Maidah ayat 2)
Rasulullah saw bersabda:
“sesungguhnya Allah SWT selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya tersebut menolong saudara muslimnya.” (HR Bukhari-Muslim)
Lebih jauh, al-Syaibani menyatakan bahwa apabila seseorang bekerja dengan niat melaksanakan ketaatan kepada-Nya, pekerjaannya tersebut niscaya akan diberi ganjaran sesuai dengan niat-nya. Dengan demikian, distribusi pekerjaan seperti diatas merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek secara kebersamaan, yaitu aspek religius dan aspek ekonomis.[7]


3.    Abu Ubaid (1038 M)
a.      Riwayat Hidup
Abu Ubaid yang dikenal sebagai bapak ekonomi Islam pertama. Nama lengkapnya adalah Al-Qasim bin sallam bin Miskin bin Zaid Al- Harawi Al- Azari Al-Baghdadi. Ia dilahirkan pada tahun 150 H di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut Afghanistan. Setelah memperoleh ilmu yang memadai di kota kelahirannya karena berkembangnya madzhab Hanafi, dan pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi untuk menuntut ilmu keberbagai kota, seperti Kufah, Basrah, dan Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya, antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qira’at, tafsir, hadis, dan fikih. Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nasr ibn Malik, Gubernur Thugur pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadhi (hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H. setelah itu, penulis kitab Al-Amwal ini tinggal di Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H, setelah berhaji, ia menetap di Mekah sampai wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.

b.      Pemikiran Ekonomi
1)   Filosofi Hukum dari sisi Ekonomi
Filosofi yang dikembangkan Abu Ubaid bukan merupakan jawaban terhadap berbagai permasalahan sosial, politik, dan ekonomi yang diimplementasikan melalui kebijakan-kebijakan praktis, tetapi hanya merupakan sebuah pendekatan yang bersifat professional dan teknokrat yang bersandar pada kemampuan teknis. Dengan demikian, tanpa menyimpang dari prinsip keadilan dan masyarakat beradap, pandangan-pandangan Abu Ubaid mengedepankan dominasi intelektualitas islami yang berakar dari pendekatannya yang bersifat holistic dan teologis terhadap kehidupan manusia di dunia dan di akhirat, baik yang bersifat individual maupun sosial.
2)   Dikotomi Badui (masyarakat tradisional/desa) ke Urban (masyarakat Kota)
Pembahasan mengenai dikotomi badui urban dilakukan Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi pendapatan fai. Abu Ubaid menegaskan bahwa bertentangan dengan kaum badui, kaum urban (perkotaan) ikut serta dalam keberlangsungan Negara dengan berbagi kewajiban administrative dari semua kaum muslim; memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka; menggalakkan pendidikan melalui proses belajar-mengajar Al-Qur’an dan Sunnah serta penyebaran keunggulannya; memberikan kontribusi terhadap keselarasan sosial  melalui pembelajaran dan penerapan hudud; memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah.
Singkatnya, disamping keadilan Abu Ubaid membangun suatu Negara Islam berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum, dan kasih sayang. Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah SWT. kepada kaum urban (perkotaan). Kaum badui yang tidak memberikan kontribusi sebesar fai sebanyak kaum urban. Dalam hal ini, kaum badui tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dari Negara. Mereka memiliki hak klaim, sementara terhadap penerimaan fai hanya pada saat terjadi tiga kondisi kritis, yakni ketika terjadi invasi musuh, kemarau panjang (qa’ihah), dan kerusuhan sipil (fatq). Abu Ubaid memperluas cakupan kaum badui dengan memasukkan golongan masyarakat pegunungan dan pedesaan.
Di sisi lain, ia memberikan hak yang sama dengan orang dewasa kepada anak-anak perkotaan terhadap tunjangan walaupun kecil, yang berasal dari pendapatan fai. Pemberian hak ini dilakukan mengingat anak-anak tersebut merupakan penyumbang potensial terhadap kewajiban publik terkait. Lebih lanjut, Abu Ubaid mengakui adanya hak para budak perkotaan terhadap jatah yang bukan untuk tujangan.
Pandangan Abu Ubaid tersebut dengan jelas membedakan antara gaya hidup kaum badui dan kultur menetap kaum urban dan membangun fondasi masyarakat muslim berdasarkan martabat kaum urban, solidaritas serta kerja sama merasakan komitmen dan kohesi sosial berorientasi urban, vertikal dan horizontal, sebagai unsure essential dari stabilitas sosio-politik dan makro ekonomi. Mekanisme tersebut meminjam banyak dari universalisme Islam, membuat kultur perkotaan lebih unggul dan dominan dibanding kehidupan nomaden. Sekalipun demikian, cukup mengejutkan bahwa Abu Ubaid tidak dapat mengambil langkah selanjutnya serta berspekulasi pada isu-isu pembagian kerja (division of labor), surplus produksi, pertukaran, dan lainnya yang berkaitan dengan organisasi perkotaan untuk kerja sama. Sebenarnya, dalam hal ini analisis Abu Ubaid lebih pada sosio-politik dibanding ekonomi sehingga Abu Ubaid fokus dalam memelihara dan menjaga keseimbangan antara hak dengan kewajiban masyarakat.[8]
Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Dalam hal kepemilikan, pemikiran Abu Ubaid yang khas adalah mengenai hubungan antara kepemilikan dan kebijakan perbalkan pertanian. Secara implisit, Abu Ubaid mengemukakan bahwa kebijakan pemerintahan , seperti iqta’ tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah tandus yang disuburkan, merupakan insentif untuk meningkatkan produksi pertanian. Oleh karena itu, tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk diolah dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut, akan dikenai denda kemudian dialikan kepemilikannya oleh penguasa.[9]
Dalam pandangan Abu Ubaid, sumber daya publik seperti: air, padang rumput, dan api tidak boleh dimonopoli seperti hima’ (taman pribadi). Seluruh sumber daya ini hanya dapat dimasukkan kedalam kepemilikan Negara yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
3)   Kepemilikan dalam Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian
Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Dalam hal kepemilikan, pemikiran Abu Ubaid yang khas adalah mengenai hubungan antara kepemilikan dan kebijakan perbalkan pertanian. Secara implisit, Abu Ubaid mengemukakan bahwa kebijakan pemerintahan , seperti iqta’ tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah tandus yang disuburkan, merupakan insentif untuk meningkatkan produksi pertanian. Oleh karena itu, tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk diolah dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut, akan dikenai denda kemudian dialikan kepemilikannya oleh penguasa.
Dalam pandangan Abu Ubaid, sumber daya publik seperti: air, padang rumput, dan api tidak boleh dimonopoli seperti hima’ (taman pribadi). Seluruh sumber daya ini hanya dapat dimasukkan kedalam kepemilikan Negara yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. [10]
4)   Reformasi Distribusi Zakat
Abu Ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa pembagian harta zakat harus dilakukan secara merata di antara delapan kelompok penerima zakat dan cenderung menentukan suatu batas tertinggi terhadap bagian perorangan. Bagi Abu Ubaid, yang paling penting adalah memnuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, seberapapun besarnya, serta menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaaan zakat kepada orang-orang yang memiliki 40 dirham atau harta lainnya yang setara, di samping baju, pakaian, rumah, dan pelayan yang dianggapnya sebagai suatu kebutuhan standar hidup minimum.
Di sisi lain, biasanya Abu Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham, yakni jumlah minimum yang terkena wajib zakat, sebagai “orang kaya” sehingga mengenakan kewajiban zakat terhadap orang tersebut. Pendekatan yang digunakan Abu Ubaid ini mengindikasikan adanya tiga kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status zakat, yaitu:
1.        Kalangan kaya yang terkena wajib zakat;
2.        Kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat, tetapi juga tidak berhak menerima zakat;
3.        Kalangan penerima zakat.
Berkaitan dengan distribusi kekayaan melalui zakat, secara umum Abu Ubaid mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing” (li kulli wahidin hasba hajatihi). Lebih jauh, ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat (atau pajak) yang diberikan kepada para pengumpulnya (amil), pada prinsipnya ia lebih cenderung pada prinsip “bagi setiap orang adalah sesuai dengan haknya”.
5)   Uang antara Fungsi dan Alat
Pada prinsipnya, Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang, yakni sebagai standar nilai pertukaran (standard of exchange value) dan media pertukaran (medium of exchange). Dalam hal ini, ia menyatakan,
“Hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apapun, kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaannya untuk membeli sesuatu (infaq).”
Pernyataan Abu Ubaid tersebut menunjukkan bahwa ia mendukung teori konvensional mengenai uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk apapun, kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Tampaknya, Abu Ubaid merujuk pada kegunaan umum dan relative konstanta nilai dari kedua benda tersebut dibandingkan dengan komoditas yang lainnya. Jika kedua benda tersebut juga digunakan sebagai komoditas, nilai dari keduanya akan dapat berubah-ubah pula. Karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan dua peran yang berbeda, yakni sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang-barang lainnya. Di samping itu, sekalipun tidak menyebutkannya secara jelas, Abu Ubaid secara implisit mengakui adanya fungsi uang sebagai penyimpanan nilai (store of value) ketika membahas jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat.[11]
Salah satu cirri khas Kitab Al-Amwal di antara kitab-kitab lain yang membahas keuangan publik (public finance) adalah pembahasan tentang timbangan dan ukuran, yang biasa digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban agama yang berkaitan dengan harta atau denda, dalam satu bab khusus. Dalam bab ini, Abu Ubaid juga menceritakan usaha Khalifah Abdul Al-Malik ibn Marwan dalam melakukan standardisasi dari berbagai jenis mata uang yang ada dalam sirkulasi.
Jelasnya, pemikiran Abu Ubaid dalam kitabnya ingin menyatakan bahwa segala kebijakan yang hanya menguntungkan sekelompok masyarakat dan membebani sekelompok masyarakat lainnya harus dihindari Negara semaksimal mungkin. Pemerintah harus mengatur harta kekayaan Negara agar dimanfaatkan demi kepentingan bersama dan mengawasi hak kepemilikan pribadi agar tidak disalahgunakan sehingga tidak menganggu atau mengurangi manfaat bagi masyarakat umum.
Pandangan-pandangan Abu Ubaid juga merefleksikan perlunya memlihara dan mempertahankan keseimbangan antara hak dan kewajiban masyarakat, rasa persatuan, dan tanggung jawab bersama. Di samping itu, Abu Ubaid juga secara tegas menyatakan bahwa pemerintah wajib memberikan jaminan standar kehidupan yang layak bagi setiap individu dalam sebuah masyarakat muslim.[12]

4.      Ibn Miskawaih (1030 M)
a.    Riwayat Hidup
Nama lengkapnya  Abu ’Ali al-Khazin Ahmad ibn Ya’qub ibn Miskawaih, adalah seorang filsuf muslim yang dianggap mampu memadukan dua tradisi pemikiran Yunani dan Islam, di samping juga ahli dalam filsafat Romawi, India, Arab, dan Persia, yang memusatkan perhatiannya pada filsafat etika Islam, meskipun sebenarnya Miskawaih adalah juga seorang dokter, sejarawan dan ahli bahasa. Lebih dikenal dengan nama Miskawaih atau Ibn Miskawaih. Nama itu diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi (Persia) yang kemudian masuk Islam. Julukannya adalah Abu ’Ali, yang merujuk kepada sahabat ’Ali ibn Abi Tholib, di samping juga bergelar al-Khazin yang berarti bendaharawan, karena jabatannya sebagai bendaharawan (baca: mentri keuangan) pada masa kekuasaan ’Adlud al-Dawlah dari Bani Buwaih (al-dawlah al-buwaihiyyah).[13]

b. Pemikiran Ekonomi
Salah satu pandangan Ibn Miskawaih yang terkait dengan aktivitas ekonomi adalah tentang pertukaran dan peranan uang. Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk sosial dan tidak bisa hidup sendiri. Menurut Ibnu Miskawaih, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus bekerja sama dan saling membantu dengan sesamanya. Menurut Ibnu Miskawaih, manusia akan saling mengambil dan memberi. Konsekuensinya, mereka akan menuntut suatu kompensasi yang pantas
Menurut Ibnu Miskawaih, barter jasa dua profesi berbeda, akan menjadi reward jika kedua karya tersebut seimbang. Menurut Ibnu Miskawaih, jika barter dua jasa tidak seimbang, maka Dinar bisa jadi alternatif penyeimbang. Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa logam yang dapat dijadikan sebagai mata uang adalah logam yang dapat diterima secara universal. Menurut Ibnu Miskawaih, konvensi uang logam yaitu tahan lama, mudah dibawa, tidak mudah rusak, dikehendaki orang dan orang senang melihatnya.[14]
Selain itu, Miskawaih mengatakan bahwa agama dan kerajaan bagai saudara kembar atau dua sisi dari mata uang yang sama (two side or the same coin), yang tidak dapat sempurna tanpa yang lain. Agama merupakan landasan dasar, kerajaan merupakan pengawalnya. Segala sesuatu tanpa landasan dasar akan mudah hancur, dan segala sesuatu tanpa pengawal akan sia-sia.
Miskawaih menegaskan bahwa yang menjaga tegaknya syariat Islam adalah imam yang kekuasaannya seperti kekuasaan raja. Tidak dikatakan raja jika tidak menjaga keselamatan agama. Penguasa yang berpaling dari agama adalah penjajah (mutaghallib). Karena seorang raja yang melampaui batas kewenangannya akan mengakibatkan kelemahan dan kerusakan. Kedudukan agama menjadi goyah, akhirnya kebahagiaan yang didambakan berbalik menjadi kesengsaraan, perselisihan, dan perpecahan. Jika demikian, tibalah saatnya untuk diadakan perubahan pimpinan kerajaan, yaitu imam yang sebenarnya dan raja yang adil.[15]
Adapun pemikiran Ibn Miskawaih adalah sebagai berikut:
1)   Jiwa atau Roh
Jiwa yang merupakan limpahan dari akal aktif bersifat rohani, sehingga tidak dapat diraba menggunakan pancaindera. Jiwa bersifat rohani atau tidak bersifat material dibuktikan oleh Miskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang berlawanan. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran hitam-putih dalam waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima salah satu saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala sesuatu, baik yang inderawi maupun yang spiritual.
Dalam jiwa, terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan pengenalan inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan antara yang benar dan yang tidak benar dari apa yang diperoleh pancaindera. Perbedaan itu dilakukan dengan cara membanding-bandingkan obyek-obyek inderawi yang satu dengan yang lain, serta membedakannya. Dengan demikian, jiwa bertindak sebagai pembimbing pancaindera dan membetulkan kekeliruan-kekeliruan yang dialami pancaindera
2)   Akhlak
Paradigma pemikiran Ibnu Miskawaih dalam bidang ahklak memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Pemikiran akhlak Ibnu Miskawaih banyak dipengaruhi oleh pemikiran filosof Muslim—seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Razi—dan dikombinasikan dengan pemikiran filosof Yunani—seperti Aristoteles, plato, dan Galen—sebagai pelengkap. Jadi, Miskawaih lebih memilih untuk mendasarkan etikanya pada ajaran agama Islam (al-Qur’an dan hadits), mengambil pemikiran dari sumber lain jika sejalan dengan agama Islam, serta menolaknya jika bertentangan.
Miskawaih mengartikan akhlak (jamak dari khuluk) sebagai keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Dengan kata lain, akhlak merupakan keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara spontan.Keadaan jiwa ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu yang berasal dari watak, dan yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Kedua watak tersebut pada hakekatnya tidak alami.[16]
Miskawaih menolak pandangan orang-orang Yunani yang mengatakan bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah. Bagi Miskawaih, akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan pendidikan dan latihan-latihan. Pemikiran ini sejalan dengan ajaran agama Islam yang menyatakan bahwa kedatangan Nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia.

5.      Al -Mawardi (1058 M)
a.      Riwayat Hidup
Nama lengkapnya ialah Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Basri,  Al-Syafie. Para ahli sejarah dan tabaqat memberi gelar kepada beliau dengan sebutan Al-Mawardi, Qadi al-Qudhat, Al-Basri dan Al-Syafi’i. Nama Al-Mawardi dinisbahkan   kepada air mawar (ma’ul wardi) kerana bapak dan datuknya adalah penjual air mawar. Gelar Qadi Al-Qudhat disebabkan beliau seorang ketua kadi yang alim   dalam bidang fiqih. Gelar ini diterima pada tahun 429 hijriah. Gelar Al-Basri ialah   kerana beliau lahir di Basrah. Sementara nama penggantinya (nama kinayah) ialah Abu Hassan.
Imam Al-Mawardi dilahirkan di Basrah pada tahun 364 hijrah bersamaan pada tahun 974 masehi. Beliau dibesarkan dalam keluarga yang mempunyai perhatian yang besar kepada ilmu pengetahuan. Al-Mawardi wafat pada tanggal 30 bulan Rabi’ul   Awwal tahun 450 hijrah bersamaan 27 Mei 1058 masehi. Ketika itu beliau berumur      86 tahun. Bertindak sebagai imam pada sholat Jenazah beliau Al-Khatib Al-Baghdadi.       Banyak para pembesar dan ulama yang menghadiri pemakaman beliau. Jenazah Al-Mawardi dimakamkan di perkuburan Bab Harb di Baghdad. Kewafatannya terpaut 11 hari dari kewafatan Qadi Abu Taib.[17]

b.   Pemikiran Ekonomi
1)      Negara dan Aktivitas Ekonomi
Teori keuangan publik selalu terkait dengan peran negara dalam kehidupan ekonomi. Negara dibutuhkan karena berperan untuk memenuhi kebutuhan korelatif seluruh warga negaranya. Al-Mawardi berpendapat bahwa pelaksanaan Imamah (kepemimpinan politik keagamaaan) merupakan kekuasaan mutlak (absolut) dan pembentukannya merupakan suatu keharusan demi terpeliharannya agama dan pengelolaan dunia.
Al-Mawardi membahas masalah pengangkatan imamah (kepala negara/pemimpin). Baginya, imam (yang dalam pemikirannya adalah seorang raja, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya. Artinya, keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga. Ketentuan seorang imamah yang dianggap legal? Dalam hal ini, Al Mawardi menjelaskan, jabatan imamah (kepemimpinan) dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi. Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahlul halli wal aqdi). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga disebut model Al Ikhtiar. Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya. Dalam masalah pemecatan seorang khalifah, Al Mawardi menyebutkan dua hal yang mengubah kondisi dirinya, dan karenanya ia harus mundur dari jabatannya itu. Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat syahwat, atau akibat syubhat. Kedua, cacat tubuh.
Dalam perspektif ekonomi, pernyataan Al-Mawardi ini berarti bahwa negara memiliki peran aktif demi terealisasinya tujuan material dan spiritual.Ia menjadi kewajiban moral bagi penguasa dalam membantu merealisasikannya kebaikan bersama, yaitu memelihara kepentingan masyarakat serta mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Al-Mawardi berpendapat bahwa negara harus menyediakan infrastruktur yang diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umum.
2)      Perpajakan
Masalah perpajakan juga tidak luput dari perhatian Al-Mawardi. Menurutnya, penilaian atas kharaj (pajak) hatus bervariasi sesuai denagn faktor-faktor yang menentukan kemampuan tanah dalam membayar pajak, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman dan sistem irigasi.
Al-Mawardi menjelaskan alasan penyebutan ketiga hal tersebut sebagai faktor yang sangat penting dalam melakukan penilaian kharaj (pajak) karena sedikit banyaknya jumlah produksi bergantung kepadanya. Jenis tanaman juga turut berpengaruh terhadap penilain kharaj berbagai jenis tanaman karena mempunyai variasi harga yang berbeda-beda. Begitupun pula halnya denan sistem irigasi. Tanaman yang menggunakan sistem irigasi secara manual tidak dapat dikenai sejumlah pajak yang sama dengan tanaman yang menggunakan sistem irigasi alamiah.

Menurut Al-Mawardi, berikut ini merupakan metode penetapan kharaj:
a.    Metode Misahah yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah metode ini merupakan ini merupakan fixed-tax, terlepas dari apakah tanah tersebut ditanami atau tidak, selama tanah tersebut memang bisa ditanami.
b.    Metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami saja. Dalam metode ini, tanah subur yang tidak dikelola tidak termasuk dalam penilaian objek kharaj.
c.    Metode Musaqah yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan persentase dari hasil produksi . Dalam metode ini, pajak dipungut setelah tanaman mengalami masa panen.
3)      Politik
Ketajaman pemikiran Al-Mawardi dalam bidang politik sebagaimana dijumpai dalam karyanya yang berjudul Al-ahkam As-Shulthoniyah secara antropologis dan sosiologis tidak dapat dilepaskan dari situasi politik yang tengah mengalami kekacauan. Dimana, terjadi tuntutan dari berbagai golongan agar suatu jabatan pada masanya dapat diisi oleh orang non-Arab dan tidak suku Quraisy. Tuntutan itu sebagaimana dapat diperkirakan menimbulkan reaksi dari golongan lain, khususnya dari golongan Arab, yang ingin mempertahankan syarat keturunan Quraisy untuk mengisi jabatan kepala negara, serta syarat kebangsaan Arab dan beragama Islam untuk menjabat wazir atau tawfidh atau penasehat dan pembantu utama khalifah dalam menyusun kebijaksanaan.
Sebagai reaksi terhadap situasi politik pada zamannya maka al-Mawardi turut menyelesaikan permasalan tersebut dengan didasarkan pada teori politiknya atas kenyataan yang ada dan kemudian secara realistik menawarkan saran-saran perbaikan atau reformasi misalnya mempertahankan dan menekankan bahwa khalifah harus tetap berbangsa Arab dari suku Quraisy, bahwa wazir tafwidh (pembantu utama khalifah dalam penyusunan kebijaksanaan) harus berbangsa Arab, dan perlu ditegaskan persyaratan bagi pengisian jabatan kepala negara serta jabatan-jabatan pembantunya yang penting.



Adapun teori politik Al Mawardi sebagai berikut:
a.       Imamah ( Kepemimpinan )
Pada bagian awal dari kitabnya al-Mawardi menyebutkan bahwa imamah/ kekhilafahan dibentuk untuk menggantikan posisi kenabian dalam mengurus urusan  agama dan mengatur kehidupan dunia. Yang di maksudkan oleh al-Mawardi dengan Imam adalah khalifah, raja, sulthan atau kepala negara. Dalam hal ini Mawardi memberikan juga baju agama kepada jabatan kepala negara di samping baju politik. Menurutnya Allah mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan negara, disertai dengan mandat politik. Dengan demikian seorang imam di satu pihak adalah pemimpin agama, dan di lain pihak pemimpin politik.[18][27] Dalam teorinya al-Mawardi tidak mendikotomikan antara pemimpin politik dan pemimpin agama. Sejarah juga telah menunjukkan bahwa Rasulullah saw ketika memimpin negara Madinah selain sebagai pembawa ajaran Tuhan, juga sebagai pemimpin negara.[19]
b.      Cara pemilihan atau seleksi Imam
Al-Mawardi mengemukakan pendapatnya tentang pemerintahan terbentuk melalui dua kelompok. Pertama ahl al-ikhtiyar yaitu mereka yang berwenang untuk memilih imam bagi umat. Dan kedua, ahl al-imamah yaitu mereka yang berhak memangku jabatan kepala pemerintahan. Bagi ahl al-ikhtiyar padanya harus memiliki tiga syarat: (1) memiliki sikap adil; (2) Memiliki ilmu pengetahuan yang memungkinkan mereka mengetahui siapa yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi imam; (3) Bijaksana dan idealis dalam menentukan pilihannya, siapa yang lebih pantas dan terbilang jujur dalam memimpin umat Islam. Namun siapa yang berhak menjadi anggota ahl al-ikhtiyar dan bagaimana cara rekrutmen anggota tersebut tidak dijelaskan lebih jauh oleh Mawardi.
Ahl al-imamah sebagai orang yang berhak menjadi pemimpin, menurut Mawardi harus memiliki tujuh syarat:
ü  Sikap adil dengan segala persyaratannya
ü  Memiliki ilmu pengetahuan yang memadai untuk berijtihad
ü  Sehat pendengaran, pengelihatan, dan lisannya
ü  Utuh anggota-anggota tubuhnya
ü  Memiliki wawasan yang baik untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umum
ü  Keberanian yang memadai untuk melindungi rakyat dan menghadapi musuh
ü  Keturunan Quraisy.
Dalam mengangkat kepala pemerintahan terdapat dua cara. Pertama, cara pemilihan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang duduk dalam ahl al-halli wa al-‘aqdi atau ahl al-ikhtiyar yakni para ulama cendikiawan dan pemuka masyarakat. Kedua, dengan cara penunjukkan atau wasiat oleh kepala pemerintahan yang sedang berkuasa.
Menurut Mawardi, mengapa pengangkatan imam atau khalifah dapat dilakukan dengan penunjukan atau wasiat oleh imam yang sebelumnya, dasarnya yang pertama adalah karena Umar bin Khattab menjadi khalifah melalui penunjukkan oleh pendahulunya, yaitu Abu Bakar. Demikian pula halnya Usman. Enam anggota “dewan formatur” yang memilihnya sebagai khalifah adalah ditunjuk oleh pendahulunya, Umar bin Khattab. Dalam hal pengangkatan imam melalui penunjukkan atau wasiat oleh imam yang berkuasa, al-Mawardi menyatakan bahwa sebelum menunjuk calon penggantinya, seorang imam harus berusaha agar yang ditunjuknya itu benar-benar berhak untuk mendapatkan kepercayaan dan kehormatan yang tinggi dan orang yang betul-betul paling memenuhi syarat.
Kalau yang ditunjuk sebagai calon pengganti itu bukan anak atau ayah sendiri, maka terdapat perbedaan pendapat, yaitu apakah imam boleh melaksanakan bai’at sendiri atau tidak. Sekelompok ulama berpendapat tidak boleh tidak dibenarkan imam seorang diri melaksanakan bai’at anak atau ayahnya sendiri. Dia harus bermusyawarah dengan ahl al-ikhtiyar dan mengikuti nasehat mereka. Kelompok ulama kedua mengemukakan bahwa imam seorang diri berhak melaksanakan bai’at kepada anak atau ayahnya sendiri sebagai putra mahkota.
Sedangkan kelompok yang ketiga berpendapat bahwa kalau yang ditunjuk sebagai putra mahkota itu ayahnya, imam dapat melaksanakan bai’at seorang diri. Tetapi tidak demikian halnya kalau yang ditunjuk sebagai putra mahkota itu anaknya. Sikap kehati-hatiannya Al Mawardi didasarkan pada fakta sejarah yang menunjukkan tidak ditemukannya suatu sistem yang baku tentang pengangkatan kepala negara yang dapat dikatakan pasti bahwa itulah sistem Islami.[20]


[1] Adimarwan Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 68

[2] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 154-155

[3] Euis Amelia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Pustaka Asatrus, 2005), hlm. 73

[4] Ibid., hlm. 75
[5] Adimarwan Karim, Sejarah Pemikiran ekonomi Islam, hlm. 70-73
[6] Ibid., hlm. 75
[7] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hlm. 166-175



[10] Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 173-174

[11] Ibid,. hlm. 175
[12] Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam , hlm. 175-182
[13] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosuf dan Filsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hlm.. 127
[14] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hlm. 17
[15] Mustofa, H. A,  Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 186
[17]  Nur Chamid,  Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hlm. 110

[20] Ibid.

Komentar

  1. T-Mobile app in Canada: A full review | iTech
    The latest version of the T-Mobile app can be accessed in titanium framing hammer the Play Store on iOS and Android. titanium stronger than steel In the new guy tang titanium toner version, you'll apple watch stainless steel vs titanium be head titanium ti s6 able to access the

    BalasHapus
  2. Casino Finder (Google Play) Reviews & Demos - Go
    Check Casino Finder (Google gri-go.com Play). https://septcasino.com/review/merit-casino/ A look at 토토사이트 some of the best gambling sites in the nba매니아 world. They offer a full game library,

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Larangan Menjual Buah-buahan Sebelum Matang

Cara Menentukan Nisbah Bagi Hasil

Teori Penawaran Islami