Larangan Menjual Buah-buahan Sebelum Matang



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Larangan Menjual Buah-buahan Sebelum Matang
1.        Pengertian
Menjual Buah-buahan Sebelum Matang atau yang sering disebut Ijon atau dalam bahasa Arab dinamakan mukhadlaroh, yaitu memperjual belikan buah-buahan atau biji-bijian yang masih hijau atau memperjual belikan buah-buahan yang belum siap untuk di panen. Sehingga jual beli seperti ini merugikan salah satu pihak, baik pembeli maupun penjual. Dari pengertian di atas tampak adanya pembedaan antara menjual buah atau biji-bijian yang masih di dahan tetapi sudah tampak wujud baiknya dan menjual buah atau biji-bijian yang belum dapat dipastikan kebaikannya karena belum kelihatan secara jelas wujud matang atau kerasnya. Latar belakang timbulnya larangan menjual buah yang belum nyata kematangannya adalah hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit r.a “adalah di masa Rasulullah Saw, manusia menjual beli buah-buahan sebelum tampak kebaikannya. Apabila manusia telah bersungguh-sungguh dan tiba saatnya pemutusan perkara mereka, maka berkatalah si pembeli “masa telah menimpa buah-buahan, telah menimpanya apa yang merusakannya”. Mereka menyebutkan cacat-cacat berupa kotoran dan penyakit ketika mereka semakin banyak bertengkar dihadapan Nabi Saw, maka beliau pun berkata “janganlah kamu menjual kurma sehingga tampak kebaikannya (matang)”. Akhirnya kurma tersebut terkena hama, dan pembeli tidak mendapatkan hasil apapun juga. Pada saat itu si pembeli ingin uangnya kembali, sedangkan si penjual tidak mau mengembalikan uang pembeli, karena telah dijual. Sebab itulah Rasulullah melarang menjual buah sebelum matang.[1]
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah r.a.:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ حَتَّى تَطِيْبَ.
“Bahwa Rasulullah SAW. melarang kami menjual buah-buahan sebelum masak.”[2]
(5:12         S.M.)
Akan tetapi, boleh menjual buah bila musim hama atau perubahan cuaca sudah lewat walaupun ada satu saja buahnya yang matang di pohon tersebut. Berkaitan dengan waktu kematangannya yaitu cukup matang satu buah di pohon, maka buah tersebut sudah boleh untuk dijual. Karena harganya tidak murah lagi dan resikonya pun kecil. Kemudian, pohon yang buahnya sejenis di suatu kebun semuanya boleh dijual bahkan pohon sejenis yang berada dikampung tersebut, semuanya boleh dijual sehingga tidak harus menunggu matangnya buah pada semua pohon. Sebab buah di satu kebun bahkan satu pohon  memiliki tingkat ketuaan yang berbeda dan tidak bisa masak secara bersamaan. Karena itu, jika ada sebagian buah sudah layak dikonsumsi, maka buah yang sama di satu kebun itu boleh dijual semuanya, baik yang sudah mulai masak maupun yang belum.
Batas mulai layak dikonsumsi itu bergantung pada masing-masing jenis buah. Misalnya jika sudah ada sebagian mangga yang masak maka semua mangga yang ada di satu kebun itu boleh dijual. Jika ada sebagian semangka yang sudah layak dikonsumsi maka seluruh semangka jenis yang sama di kebun itu boleh dijual, termasuk yang masih muda. Jika sudah ada sebagian bunga ketimun yang berubah menjadi buah maka semua ketimun di seluruh kebun itu boleh dijual.  Jika ada sebagian tongkol jagung manis sudah layak dipetik maka seluruh jagung manis di kebun itu boleh dijual. Sebab, maksud hadits Rasulullah “melarang menjual buah sebelum matang” adalah bila telah masuk musim panen dan hama sudah hilang, maka buah tersebut yang sejenis boleh dijual semuanya.[3]
Jika buah yang masih di pohon itu dijual, lalu terjadi bencana cuaca seperti hujan, angin, hawa dingin, angin kering/panas, dsb, maka penjual wajib menarik diri dari harga buah yang mengalami cacat atau rusak dan mengembalikannya kepada pembeli. Contohnya adalah buah-buahan yang siap untuk dipanen tertimpa musibah atau bencana yang tidak disebabkan oleh perbuatan manusia seperti cuaca dingin atau angin, diserang hama ataupun penyakit tanaman lainnya sehingga buah-buahan tersebut menjadi rusak, maka dalam kondisi seperti ini si pembeli berhak menarik kembali uangnya dari si penjual atau ia boleh menuntutnya.[4]




Jabir r.a. menuturkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam pernah bersabda:
إِنْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ فَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Jika engkau menjual buah kepada saudaramu, lalu terkena bencana, maka tidak halal bagimu mengambil sesuatu pun darinya karena (ketika itu) engkau mengambil harta saudaramu tidak secara haq.” (HR Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i)
Namun, jika bencana itu bukan bencana cuaca seperti pencurian, kekeringan karena kerusakan pompa, gempa, banjir, kebakaran dan sebagainya, maka penjual tidak harus melepaskan harganya. Bencana seperti itu tidak termasuk dalam cakupan makna hadis tersebut.
Apabila kita perhatikan latar belakang larangan tersebut, maka secara umum hikmah yang dapat kita ambil adalah :
a.         Mencegah timbulnya pertengkaran (mukhashamah) akibat kesamaran.
b.        Melindungi pihak pembeli, jangan sampai menderita kerugian akibat pembelian buah-buahan yang rusak sebelum matang.
c.         Memelihara pihak penjual jangan samapai memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.
d.        Menghindarkan penyasalan dan kekecawaan pihak penjual jika ternyata buah muda yang di jual dengan harga murah itu memberikan keuntungan besar kepada pembeli setelah buah itu matang dengan sempurnah.[5]

2.        Pendapat Para Ulama 
Menjual buah-buahan yang belum matang (ijonan) merupakan jual beli yang dilarang oleh Agama, jumhur Ulama pun sepakat bahwa jual beli ini termasuk jual beli yang dilarang. Hal ini merujuk pada Hadits Nabi yang disampaikan oleh Anas ra bahwasannya “Rasulullah Saw melarang muhaqalah, mukhadlarah (ijonan), mulamasah, munabazah, dan muzabanah”. (HR. Bukhari)
Ibnu Umar juga memberitakan:“Rasulullah Saw telah melarang buah-buahan sebelum nyata jadinya. Ia larang penjual dan pembeli”. (Muttafaq Alaih)
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai jual beli di atas pohon dan hasil pertanian di dalam bumi. Hal ini karena adanya kemungkinan bentuk ijon yang didasarkan pada adanya perjanjian tertentu sebelum akad. 
Berikut pendapat para Ulama tentang jual beli buah-buahan yang belum matang, diantaranya: 

a. Imam Abu Hanifah 
Imam Abu Hanifah atau fuqaha Hanafiyah membedakan menjadi tiga alternatif hukum sebagai berikut :
a)    Jika akadnya mensyaratkan harus di petik maka sah dan pihak pembeli wajib segera memetiknya sesaat setelah berlangsungnya akad, kecuali ada izin dari pihak penjual.
b)   Jika akadnya tidak disertai persyaratan apapun, maka boleh.
c)    Jika akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik (tetap dipanen) sampai masak-masak, maka akadnya fasad.
Sedang para ulama berpendapat bahwa mereka membolehkan menjualnya sebelum masak atau matang dengan syarat dipetik. Hal ini didasarkan pada hadits nabi yang melarang menjual buah-buahan sehingga tampak kebaikannya. Para ulama tidak mengartikan larangan tersebut kepada kemutlakannya, yakni larangan menjual beli sebelum masak.[6]

b. Malikiyah, Syafi’iyah, Dan Hanabilah 
Jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) mereka berpendapat bahwa jika buah tersebut belum layak untuk dipetik, sedangkan dalam akadnya disyaratkan harus segera dipetik maka hukumnya sah. Karena menurut mereka, sesungguhnya yang menjadi halangan keabsahannya adalah gugurnya buah atau ada serangan hama. Kekhawatiran seperti ini tidak terjadi jika langsung dipetik. Karena apabila tidak langsung dipetik bisa merugikan pihak pembeli. Sedang jual beli yang belum pantas untuk dipanen (masih hijau) secara mutlak tanpa persyaratan apapun maka hukumnya tidak sah. Pendapat-pendapat ini berlaku pula untuk tanaman lain yang diperjual belikan dalam bentuk ijon, seperti halnya yang biasa terjadi di masyarakat kita yaitu penjualan padi yang belum nyata keras dan dipetik atau tetap dipohon, kiranya sama-sama berpangkal pada prinsip menjauhi kesamaran dengan segala akibat buruknya.
Hukum yang telah ditetapkan oleh fuqaha ini, tidak berlaku pada buah atau tanaman yang memang bisa dimanfaatkan atau di makan ketika masih hijau seperti mangga, jagung, pepaya, dan tanaman lainnya. Jika buah ini dimaksudkan dengan jelas untuk dimakan selagi muda, tidak mengandung kesamaran, tidak ada unsur penipuan didalamnya, sehingga tidak memakan harta orang lain secara bathil, maka hukumnya sama dengan buah yang sudah nampak kematangannya.[7]

B.       Hadits Larangan Menjual Buah-buahan Sebelum Matang
Berikut ini adalah hadits-hadits yang berkaitan dengan adanya larangan menjual buah-buahan sebelum jelas kematangannya.
Hadits ke-7
عَنْ عَبْدِ اللّهِ بْنِ عُمَرَ آَنَّ رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُ وَصَلاَ حُهَا نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُبْتَاعَ
"Dari Abdullah bin Umar r.a, bahwa Rasulullah SAW melarang menjual buah-buahan sebelum tampak kematangannya, beliau melarang penjual dan pembelinya." (HR. Bukhari - Muslim)

Hadits ke-8
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَاللّهِ صَلَّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعٍ الثَّمَارِ حَتَّى تُزْهِيَ فَقِيْلَ لَهُ وَمَا تُزْهِي قَالَ حَتَّى تَحْمَرّأَوْ تَصْفَرَّ
"Dari Anas bin Malik r.a, bahwa Rasulullah SAW melarang menjual buah-buahan sebelum matang. Ada yang bertanya, Bagaimana kematangannya? Beliau menjawab, Hingga memerah atau menguning." (HR. Bukhari - Muslim)
قَلَ أَرَأَيَتَ اِذَا مَنَعَ اللّه الثَّمْرَةَ بِمَ يَسْتَحِلٌ أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيْهِ
Beliau bersabda, "Apakah pendapatmu sekiranya Allah swt, melarang buah-buahan, karena ulah seseorang diantara kalian yang menghalalkan harta saudaranya?"

Kesimpulan Hadits:
1)        Larangan menjual buah-buahan sebelum tampak matang,
2)        Larangan itu mengharuskan kerusakan, sehingga jual beli buah-buahan yang belum matang tidak sah,
3)        Boleh menjualnya setelah tampak matang, dengan syarat pemutusan pada saat itu pula. Ini merupakan pendapat Jumhur,[8]
4)        Bukti kematangan buah ialah buah kurma di pohon, yang warnanya kekuning-kuningan atau kemerah-merahan, yang juga ada pada sebagian buah-buahan. Kematangan sebagian buah-buahan di pohonnya merupakan bukti kematangan untuk seluruh buah di satu lahan untuk jenis yang sama. Disebutkan kemerah-merahan atau kekuning-kuningan pada kurma, sedangkan untuk buah lainnya ditandai dengan kelayakannya untuk dimakan, yang dalam biji-bijian tampak berisi,
5)        Hikmah larangan ini, bahwa sebelum matang, buah-buahan masih rentan terhadap kerusakan dan gangguan. Jika buah-buahan rusak, maka pembelilah yang harus menanggungnya, sehingga tidak ada manfaat yang dia peroleh, sehingga penjual dianggap mengambil harta orang lain (pembeli) secara batil. Menjual buah-buahan sebelum tampak matang, juga tidak mendatanagkan manfaat, karena memang belum bisa dimanfaatkan. Disamping itu, hal ini bisa menimbulkan pemutusan hubungan dan perselisihan di antara dua belah pihak, lalu membangkitkan benih-benih permusuhan diantara mereka,
6)        Disini terkandung pengharaman mengambil harta orang lain tidak secara benar, meskipun ada sedikit gambaran keridhaan dari kedua belah pihak.[9]




Hadits ke-9
عَنْ عَبْدِاللّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُمَا قَالَ نَهَى رَسُوْلُ اللّهِ  صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ عَنِ الْمُزَا بَنَةِ أَنْ يَبِيعَ ثَمَرَ حَا ئِطِهِ اِنْ كَانَ نَخْلاَ بِتَمْرٍ كَيْلاً وَاِنْ كَنَ كَرْمًا أَنْ يَبِيْعَهُ بِزَبِيْبٍ كَيْلاً وَاِنْ كَانَ زَرْعًا أَنْ يَبِيْعَهُ بِكَيْلِ طَعَامٍ وَنَهَى عَنْ ذَلِكَ كُلِّهِ
"Dari Abdullah bin Umar r.a, dia berkata, 'Rasulullah SAW melarang muzabanah, yaitu menjual buah-buahan di kebunnya. Jika berupa kurma basah, dia menjualnya dengan kurma kering dengan suatu takaran, jika berupa anggur basah, dia menjualnya dengan anggur kering dengan suatu takaran, jika berupa gandum ditangkainya, dia menjualnya dengan setakar makanan. Beliau melarang yang demikian itu semuanya'." (HR. Bukhari - Muslim)

Kesimpulan Hadits:
1)        Larangan jual beli secara muzabanah
2)        Jual beli muzabanah tidak sah, karena larangan itu mengharuskan tidak sahnya jual beli
3)        Hikmah larangannya, karena didalamnya ada unsur untung-untungan dan kerusakan, karena itu merupakan jual beli sesuatu yang diketahui dengan sesuatu yang belum jelas, karena didalamnya ada jual beli dua jenis riba yang tidak diketahui kejelasannya. Jual beli ini menjadi sah jika diketahui kesamaan nilainya. Jika tidak diketahui  kesamaan nilainya,  yang berarti menimbulkan kelebihan yang sudah dapat di yakini, maka hukumnya haram
4)        Didalamnya terkandung dalil pengharaman menjual kurma basah dengan kurma kering, karena tidak diketahui kesaman nilainya, meskipun sudah diusahakan kesamaannya. Bahkan yang menunjukkan pengharaman jual beli dua jenis yang ada kelebihannya, ialah karena tidak diketahui kesamaan nilainya, entah karena perbedaan keadaannya, yang satu basah dan yang satu kering, atau karena satunya masih berupa biji dan satunya lagi berupa tepung, atau karena yang satunya sudah dimasak dan satunya lagi masih mentah, ataupun keadaan lainnya yang tidak diketahui kesamaan nilai antara keduanya.[10]

Hadits ke-10
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِاللّهِ رَضِى اللّهُ عَنْهُمَا نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمُخَابَرَةِ وَالْمُحَاقَلَةِ وَ عَنِ الْمُزَابَنَةِ وَعَنْ  بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَ حُهَا وَأَنْ لاَتُبَا عَ اِلاَّ بِالدَّيْنَارِ وَالدِّرْ هَمِ اِلاَّالْعَرَايَا
"Dari Jabir bin Abdullah r.a, dia berkata, 'Nabi SAW melarang mukharabah, muhalaqah, muzabanah, menjual buah-buahan hingga tampak kematangannya, tidak dijual kecuali dengan dinar dan dirham kecuali ariyah.' " (HR. Bukhari - Muslim)

Kesimpulan Hadits:
1)        Larangan jual beli secara mukharabah, muhalaqah, dan muzabanah
2)        Ada yang dikecualikan dari muzabanah, yang disebut al-araya, karena kebutuhan yang mendesak
3)        Larangan jual beli ini karena didalamnya terdapat ketidaktahuan tentang kesamaan nilai dua barang yang dipertukarkan, dan ketidakjelasan itu membawa kita kepada riba
4)        Yang lebih banyak untuk diharamkan ialah jika diketahui adanya selisih antara dua barang yang dipertukarkan, yaitu dua riba dari satu jenis yang sama
5)        Larangan menjual kurma sebelum masak (di pohonnya), untuk menjaga pohon agar tidak terkena penyakit dan rusak. Memang kerusakan pohon tidak dapat dicegah, tapi setidak-tidaknya dapat diminimaisir. Memang ada sebagian pohon kurma yang tidak diserang penyakit kecuali setelah buahnya tampak matang, tapi sudah diketahui sama-sama manusia, bahwa risiko kerusakan pohon itu menjadi tanggungan penjual, hingga kematangannya menjadi sempurna.[11]




[1] http://darussalam-online.com/jual-beli-buah-yang-belum-matang-dan-jual-beli-salam/
[2] Mukhtasar Shahih Muslim, Ringkasan shahih Muslim, (Bandung: Mizan Media Utama. 2009), hlm. 500.

[3] http://darussalam-online.com/jual-beli-buah-yang-belum-matang-dan-jual-beli-salam/
[4] https://almanhaj.or.id/4039-jual-beli-mukhadharah-jual-beli-habalah-jual-beli-talji-ah.html
[5] http://darussalam-online.com/jual-beli-buah-yang-belum-matang-dan-jual-beli-salam/
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Mardani, Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers. 2012), hlm. 112.
[9] Ibid., 114.
[10] Ibid., 114-115.
[11] Ibid., 116.

Komentar


  1. Terimakasih atas informasinya, semoga sukses selalu dan Silahkan Kunjungi website kami ^^
    Cara Mengobati Sistitis

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Menentukan Nisbah Bagi Hasil

Teori Penawaran Islami